ESANDAR, Jakarta – Dominasi dolar AS belum tergoyahkan, bahkan hingga pekan lalu (6-10 Agustus) berakhir, mata uang AS semakin kuat terhadap rival-rival utamanya, terbantu oleh ambruknya lira, mata uang Turki.
Laju penguatan dolar AS pada pekan sebelumnya sempat terkoreksi setelah intervensi People’s Bank of Cina (PBoC) atas yuan. Langkah bank sentral Cina tersebut membendung arus pelemahan yuan yang amblas sekitar 7 % sejak pertengahan Juni. PBoC mendesak dunia perbankan untuk mencegah aksi spekulasi agresif mengejar momentum untuk mendukung mata uang Cina.
Kestabilan yuan diharapkan dapat pula menstabilkan euro, yang telah menjadi lebih berkorelasi dengan pergerakan yuan/dolar AS saat ketegangan perdagangan antara AS dan Cina terus meningkat. Perdagangan kedua mata uang tersebut mendorong pergerakan semua mata uang G10, terutama euro.
Disisi lain, ketegangan dalam Perang Dagang memberikan penguatan Investor untuk melanjutkan aksi safe haven dengan memilih Dolar AS sebagai aset surgawi. Peningkatan tarif impor oleh Presiden AS Donald Trump bisa mengurangi defisit perdagangan AS.Penguatan ekonomi AS semakin meyakinkan pelaku pasar atas pilihan tersebut. Inflasi AS akan menjadi pendorong utama penguatan Dolar AS dikemudian hari. The Federal Reserve semakin yakin bahwa perekonomian AS berjalan dijalurnya dan begitu juga rencana mereka dalam menaikkan suku bunga secara bertahap.
Penguatan dolar AS semakin menjadi diakhir pekan kemarin setelah mata uang Turki anjlok tajam. Euro selaku rival utama dolar AS terus tertekan karena risiko terpaparnya perbankan Eropa oleh merosotnya Lira. Mata uang Turki ini turun ke rekor terendah setelah Presiden Donald Trump menggandakan tarif impor logam Turki. Keputusan ini memicu kekhawatiran investor tentang kemampuan Turki untuk membayar utangnya.
Kekhawatiran tersebut mendapat konfirmasi setelah ada laporan bahwa European Central Bank (ECB) mengakui paparan tersebut. Data dari Bank for International Settlements menunjukkan bahwa bank-bank di Spanyol, Prancis dan Italia memiliki eksposur tertinggi ke ekonomi Turki pada akhir kuartal pertama, menambahkan hingga $81 miliar, $35 miliar dan $18 miliar masing-masing. Meskipun demikian banyak analis mengecilkan dampak depresiasi lira Turki terhadap bank-bank Eropa, mengutip sebagian besar eksposur tersebut sebenarnya datang dari ekuitas Turki.
Dalam sepekan mendatang, sejumlah data dan agenda penting akan menjadi perhatian pasar. Data investasi, ritel dan industri Cina, inflasi dan PDB Jerman, penghasilan rata-rata, ketenagakerjaan, inflasi dan ritel Inggris serta data manufaktur, industri, produktivitas, ritel dan perumahan AS.
Secara teknis, Euro masih akan melemah terlebih jika menembus 1.1380, yang akan berpotensi membawa koreksi hingga ke 1.1200. Upaya penguatan kembali diuji untuk menembus level resisten sebagai kunci penting kenaikan lebih lanjut, pada 1.1500. Target penguatan kembali bisa membawa EURUSD ke 1.1650.
Sementara Poundsterling juga menghadapi posisi yang sama. Pelemahan GBPUSD, masih akan berlanjut jika menembus 1.2700 dan membawa Poundsterling ke 1.2500. Upaya membalas akan diuji pada level resisten di 1.2950, dengar target kenaikan hingga ke 1.3150.
Pada perdagangan AUDUSD, tekanan jual juga masih membayangi perdagangan sepekan mendatang. Potensi perlawanan akan muncul jika Aussie mampu menembus level krusial di 0.7350 dengan target hingga ke 0.7500. Sebaliknya tekanan jual yang terjadi akan membawa Aussie hingga ke 0.7200.
Pasangan USDJPY berhasil pulih dari posisi terendah selama dua minggu ini. Memanfaatkan penguatan saat ini, USDJPY akan berusaha kembali di level resistance 111,00. Krisis Turki mengguncang pasar keuangan global, tidak banyak mendorong arus safe haven ke arah yen Jepang, justru sebaliknya investor memilih Dolar AS sebagai aset surgawi. Aksi beli diatas 111.00 bisa dilakukan dengan target ke 112,50. Sebaliknya, upaya campur tangan akan membuat USDJPY bisa turun ke 110.00. (Lukman Hqeem)