Krisis Turki dikahwatirkan akan menyerer krisis baru di negara-negara berkembang.

Esandar Arthamas Berjangka merupakan pialang resmi yang terdaftar di BAPPEBTI. Anggota dari Bursa Berjangka Jakarta dan Kliring Berjangka Indonesia.

ESANDAR, Jakarta – Krisis Turki yang menyeret jatuhnya nilai tukar mata uang mereka, Lira – berpotensi menyulut krisis ekonomi lebih luas, bukan hanya di Eropa namun juga menimbulkan ancaman negara-negara berkembang lainnya.

Akhir pekan kemarin, Lira jatuh atas Dolar AS. Satu Dolar AS dibeli diatas 6 lira, seminggu lalu masih 5 lira. Ini merupakan posisi terlemah dalam catatan. Satu dolar terakhir dibeli 6.2832 lira, naik lebih dari 13%. Demikian pula, lira turun sekitar 12% terhadap euro, pada 7,1684 lira.

Jatuhnya mata uang ini semakin menjadi-jadi dengan kondisi domestik Turki. Laju Inflasi naik menjadi dua digit ke 15,8% pada bulan Juli dari 15,4% pada bulan Juni. Bank Sentral Turki telah melakukan intervensi pada banyak hal tahun ini, dengan sedikit keberhasilan, untuk mencegah penurunan lira dan menstabilkan inflasi. Sementara itu, Erdogan, setelah pemilihan kembali pada bulan Juni, semakin kritis terhadap bank sentral dan suku bunga tinggi.

Runtuhnya Lira diyakini berdampak lebih luas khusunya bagi pasar di negara-negara berkembang. Mereka umumnya meruakan negara-negara yang sangat bergantung pada asing. Dimana kebanyakan memiliki hutang dengan denominasi dolar. Oleh sebab itu, penguatan Dolar AS sebagai konsekuensi jatuhnya Lira akan membuat sejumlah negara bermasalah dengan neraca anggarannya.

Menurut laporan Financial Times, Bank Sentral Eropa telah semakin khawatir tentang kondisi Turki dan potensi penularan masalah-masalahnya, terutama yang berkaitan dengan sektor keuangannya. Laporan ini memicu aksi jual di pasar saham Eropa dan Inggris, mencerminkan kekhawatiran investor saat ini.

Argentina misalnya, memiliki hutang dalam denominasi Dolar AS. Sebagai salah satu pihak yang berpotensi mendapatkan masalah. Baik Ankara dan Buenos Aires bisa menjadi domino pertama yang jatuh diantara negara-negara berkembang lainnya.

Dimasa yang akan datang, kekhawatiran akan resiko ini akan semakin membesar. Terlebih dengan kecenderungan AS dalam menaikkan suku bunganya. Kenaikan ini akan berimbas pada penguatan Dolar AS atas mata uang lainnya. The Federal Reserve diperkirakan akan menaikkan suku bunga untuk kedelapan kalinya sejak akhir 2015 pada bulan September nanti, telah memperburuk ketegangan di pasar negara berkembang, yang menggunakan mata uang lokal untuk membeli dolar. (Lukman Hqeem)