ESANDAR, Jakarta – Dolar AS menunjukkan keperkasaannya, sedangkan Euro menjadi mata uang yang paling terpukul.
Euro menjadi kontributor terbesar bagi pembentukan indek dolar yakni 57,6%, disusul Poundsterling 11,9%. Yen sebesar 13,6%, Dolar Kanada sebesar 9,1%, Krona Swedia sebesar 4,2% dan Franc Swiss sebesar 3,6%.
Dolar AS mendapat dorongan penguatan setelah The Federal Reserve menyampaikan prediksinya bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) AS pada kuartal I 2019 yang diprediksi sebesar 2,8%. Angka ini lebih tinggi dari prediksi pasar sebesar 2,2%. Dengan keyakinan tersebut, menggarisbawahi bahwa kondisi ekonomi AS masih cukup kuat.
Optimisme tersebut ditunjang juga dengan data-data yang apik pada pekan lalu. Penjualan ritel di AS dilaporkan melonjak di bulan Maret. Data yang dirilis pekan lalu oleh Departemen Perdagangan AS menunjukkan data penjualan ritel sebesar 1,6% dari bulan sebelumnya yang turun 0,2%. Kenaikan di bulan Maret tersebut menjadi yang terbesar sejak September 2017.
Sementara penjualan ritel inti, yang tidak memasukkan sektor otomotif dalam perhitungan, dilaporkan naik 1,2% setelah mengalami penurunan 0,2% di bulan Februari.
Lawan-lawan dolar sedang mengalami tekanan. Euro, kembali diterpa isu pelambatan ekonomi setelah rilis data aktivitas bisnis sektor manufaktur dan jasa yang mengecewakan. Hal itu membuat mata uang 19 negara ini anjlok ke level US$ 1,1216, atau yang terendah dalam dua pekan terakhir.
Poundsterling sedang limbung akibat kemungkinan adanya pemakzulan Perdana Menteri Inggris, Theresa May. Para elite Partai Konservatif, yang ketuanya adalah Theresa May sendiri, dikabarkan akan mendesak sang pimpinan untuk mengundurkan diri.
Dari Jepang, yen juga sedang tidak dalam kondisi yang bagus setelah banyak ekonom yang memprediksi Bank of Japan (BOJ) akan melonggarkan kebijakan moneter. Bahkan tiga dari sekian banyak ekonom tersebut memprediksi pelonggaran atau stimulus moneter akan dilakukan pada Kamis (25/04) nanti. (Lukman Hqeem)