ESANDAR, Jakarta – Setahun masa pemerintahan Presiden Donald Trump, ditandai dengan kejadian yang tidak mengenakkan. Pemerintah AS terpaksa melakukan Government Shutdown atau menutup sejumlah layanannya, karena masalah anggaran.
Penutupan layanan pemerintah (Government Shutdown) adalah situasi ketika Kongres gagal menyepakati anggaran yang diperlukan untuk operasi pemerintahan. Biasanya pemerintah berhenti menyediakan semua layanan selain yang “penting” saja. Namun karena Kongres harus mengesahkan semua pengeluaran pemerintah, tidak ada hukum yang melindungi layanan pemerintah apapun dari penutupan.
Pada masa pemerintahan Presiden Bill Clinton, pernah dilakukan penutupan layanan pemerintahan selama 21 hari, mulai 15 Desember 1995 – 6 Januari 1996. Ini merupakan yang paling lama sepanjang sekarah AS. Ini merupakan buntut perselisihan antara Bill Clinton yang diusung Partai Demokrat dengan Konggres yang dikuasai Partai Republik. Konggres meminta Presiden Clinton mengajukan anggaran dengan jadwal tujuh tahun menggunakan angka yang disediakan Congressional Budget Office. Alih-alih menerima, Clinton justru menolak. Akhirnya Kongres dan Clinton bisa bersepakat mengesahkan anggaran penyesuaian.
Pada 20 Januari 2018, pemerintah AS memutuskan untuk menutup sejumlah layanannya. Ini sebagai buntut perselisihan anggaran pula. Demokrat ingin dana Deferred Action for Childhood Arrivals (DACA) dipertahankan. Sementara Republikan berusaha bernegosiasi dengan memasukkannya dalam Children’s Health Insurance Program (CHIP), namun ditolak. Negosiasi buntu dan penutupan masih berlangsung.
Menyikapi kondisi ini, ekonomi Goldman Sachs, Jan Hatzius memberikan komentar bahwa penutupan layanan pemerintahan AS ini justru akan menguras ekonomi secara perlahan-lahan. Sebagaimana dikatakan kepada Business Insider, pihak Goldman Sachs menilai produk domestik bruto (PDB) AS pada kuartal pertama akan tergelincir sebesar 0,2 % untuk setiap minggu penutupan ini.
Meski demikian, Government Shutdown terlalu mengkhawatirkan dalam jangka panjang terhadap ekonomi AS. Dengan catatan, bahwa setiap kemunduran ekonomi akan cepat berbalik pada kuartal kedua. Pertimbangan ini didasarkan asumsi bahwa penutupannya telah berakhir pada saat itu. Goldman Sachs juga yakin bahwa reaksi pasar akan bisa diredam.
Pasar dinilai hanya merespon kecil penutupan ini. Sejak 1981, Indek S&P 500 menunjukkan pergerakan rata-rata hanya minus -0,9% pada hari pertama perdagangan setelah pemerintahan ditutup. Pada tiga penutupan lainnya, indeks saham ini malah tidak mengalami penurunan lebih dari 1,5% selama penutupan berlangsung.
Kajian yang dilakukan Goldman Sachs seakan mengkonfirmasi temuan Ryan Detrick, ahli strategi pasar yang melihat kinerja saham selama Government Shutdown sejak 1976, menemukan bahwa rata-rata besaran Indek S&P500 tidak berubah.
Menariknya, dampak kerusakan bagi pasar bisa jadi jauh lebih buruk jika pemerintah AS malah memutuskan perluasan otoritas pengeluaran federal karena itu akan meningkatkan peluang bahwa tenggat waktu pendanaan kelak akan berinteraksi dengan batas utang. Pasar bisa memiliki reaksi negatif yang lebih kuat jika batas utang yang akan datang meningkat menjadi terjerat dalam serangkaian isu saat ini, pungkas Hatzius. (Lukman Hqeem)