Esandar Arthamas Berjangka merupakan pialang resmi yang terdaftar di BAPPEBTI. Anggota dari Bursa Berjangka Jakarta dan Kliring Berjangka Indonesia.

ESANDAR, Jakarta – Disela-sela penyelenggaraan KTT G20 di Osaka, Jepang pada akhir pekan ini. Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping dijadwalkan akan bertemu. Pasar menantikan pertemuan ini dan merasa yakin keduanya mengulang hasil pertemuan sebelumnya di Buenor Aires dimana terjadi kesepakatan gencatan perang dagang. Dua negara dengan ekonomi terbesar di dunia itu telah saling mengenakan bea impor terhadap berbagai produk senilai ratusan miliar dolar.

Keyakinan pasar bahwa kesepakatan antara AS dan China semakin tinggi. Pasalnya, Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Steven Mnuchin pada Rabu (26/6/2019) mengatakan negaranya dan China sudah hampir menyepakati perjanjian dagang. Sekitar 90% butir-butir isi perjanjian menurut Mnuchin telah dirampungkan dalam pembicaraan awal antara pihak AS dan China, sebagaimana dilaporkan oleh CNBC.

Mnuchin yakin bahwa Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping dapat membuat langkah terobosan dalam perundingan dagang yang tengah macet ini. “Pesan yang ingin kami dengar adalah bahwa mereka ingin kembali ke meja perundingan dan melanjutkan pembicaraan karena saya rasa ada hasil yang baik bagi perekonomian mereka dan AS dengan mendapatkan perdagangan yang seimbang dan untuk terus mempererat hubungan,” lanjutnya.

Mnuchin mengatakan dirinya berharap kesepakatan dapat diteken kedua negara akhir tahun ini. Namun, ia juga menyatakan hal itu memerlukan upaya yang tepat. Sebagaimana ditegaskan olehnya, “Saya sangat berharap kami dapat terus berjalan dengan sebuah rencana… Presiden Trump dan Presiden Xi memiliki hubungan kerja yang erat. Kami sebelumnya telah mendapatkan hasil positif dari pertemuan G20 tahun lalu,” tambahnya.

Sedianya, kedua pemimpin akan melangsungkan pembicaraan pada Sabtu (29/06/2019). Sebelumnya Trump telah menaikkan bea impor terhadap berbagai barang China senilai US$200 miliar menjadi 25% dari 10% pada Mei kemarin. China membalas dengan mengenakan bea masuk yang lebih tinggi. Trump juga menggagas pengenaan tarif impor baru terhadap produk China lainnya senilai US$300 miliar.

Para pelaku pasar di Wall Street sendiri telah mengambil sikap untuk tidak berharap banyak terhadap pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping yang dinanti-nantikan seluruh dunia. Banyak investor yakin kedua pemimpin sepertinya akan menahan pengenaan bea impor baru dan memulai lagi perundingan. Namun, bea masuk yang sudah dijatuhkan saat ini diperkirakan tidak akan dicabut.

Donald Straszheim, ahli strategi dari Evercore ISI, memperkirakan pertemuan Donald Trump dan Xi Jinping tidak akan membahas bea masuk tambahan. Sikap tersebut justru memberi sinyal bahwa tarif-tarif impor baru itu akan segera diterapkan. Bila benar terjadi, ini merupakan pukulan telak bagi perekonomian China dan meningkatkan kekhawatiran di kalangan investor bahwa konflik perdagangan akan berlangsung lebih lama. Paling-paling kedua belah pihak hanya akan menjaga komunikasi ke depannya, tegasnya.

Dengan hasil yang demikian ini, bea impor AS yang baru tidak akan dimasukkan dalam pernyataan, dan menjadi sinyal bahwa AS akan menjatuhkan bea masuk terhadap barang-barang China senilai US$300 miliar, tambah Straszheim. Ia memperkirakan Trump akan menaikkan bea 10% terhadap impor China dalam skenario ini.

Sebuah survey lain yang dilakukan Bank of America Merrill Lynch menunjukkan bahwa sekitar dua per tiga responden memperkirakan tidak ada perjanjian yang diteken akhir pekan ini, namun mereka juga memprediksi tidak akan ada bea impor baru yang dijatuhkan kedua negara. Sejumlah kecil pelaku pasar memperkirakan pertemuan itu akan gagal sepenuhnya.

Beberapa ekonom UBS bahkan perang dagang akan kembali memanas yang ditandai dengan pengenaan bea masuk baru, dunia akan mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi sebagaimana yang terjadi di masa resesi. Jika perang dagang memanas, kami memperkirakan pertumbuhan global akan menjadi 75 basis poin lebih rendah dalam enam kuartal ke depan – seukuran dengan krisis di zona euro, anjloknya harga minyak pada pertengahan 1980an, dan krisis ‘Tequila’ di 1990an,” ungkap kepala riset ekonomi global UBS Arend Kapteyn.

Peter Boockvar, Kepala investasi startegis Bleakly Advisory Group, memperkirakan ekonomi dunia berpotensi jatuh ke dalam resesi bila dua negara dengan perekonomian terbesar itu terus berseteru. “Peluang bahwa kita akan mengalami resesi global akan meningkat bila tidak ada penurunan ketegangan antara AS dan China,” ujarnya, dilansir dari CNBC International. “Terkait G20, saya tidak merasa akan ada sesuatu yang negatif, dan ini sepertinya akan menjadi sebuah momen ‘kumbaya’,” lanjutnya. Momen kumbaya adalah sebuah sikap yang menunjukkan persahabatan antara dua pihak yang tengah bermusuhan.

Bagaimana bila kesepakatan tercapai ?, bursa saham global diperkirakan akan mencatatkan reli sementara dan obligasi mengalami aksi jual bila gencatan senjata perang dagang diumumkan Amerika Serikat (AS) dan China akhir pekan ini. Namun, pelemahan ekonomi global bisa terus berlanjut hingga kesepakatan yang mengakhiri pengenaan bea impor tercapai. (Lukman Hqeem)