ESANDAR – Pada perdagangan di pasar uang diakhir pekan, Jumat (09/08/2019) Yen dan Franc menguat karena aksi risk aversion investor yang kembali memburu aset safe haven. Kekhawatiran akan perang dagang yang berlarut-larut menjadi pendorong sikap investor saat ini. Kondisi ini semakin diperkuat dengan sejumlah data ekonomi yang lemah di berbagai belahan dunia dan ketidak pastian politik di Italia.
Yen dan Franc menjadi tujuan investor karena likuiditas yang dalam dan surplus transaksi berjalan di Jepang dan Swiss menarik aliran investasi ke mata uang mereka selama masa tekanan geopolitik dan ekonomi. Meski demikian, perlu diwaspadai potensi intervensi otoritas keuangan setempat karena penguatan Yen oleh aksi beli investor tidak akan disambut baik oleh Bank of Japan. Yen yang kuat akan menjadi ganjalan bagi Bank Sentral dalam mencapai tujuan melajukan inflasi Jepang ke sasaran sebesar 2%.
Aksi beli investor membawa Yen ke posisi terkuatnya dalam tujuh bulan ini atas Dolar AS. Begitu juga dengan Franc yang mendapat dorongan kenaikan dengan latar belakang meningkatnya ketegangan perang dagang AS – China.
Disisi lain, bursa saham AS mengalami penurunan tajam dengan sikap Presiden AS Donald Trump. Pada akhir pekan kemarin, Trump kembali menyatakan bahwa ia belum siap untuk melakukan kesepakatan perdagangan dengan China dan telah memutuskan bahwa AS tidak akan melakukan bisnis dengan raksasa telekomunikasi China Huawei Technologies untuk sementara waktu.
Pernyataan ini terang menyebabkan Dolar AS terpukul, terlebih dengan data ekonomi yang dirilis kemudian bahwa harga produsen AS turun 0,1% pada bulan Juli. Angka ini menunjukkan inflasi tetap diredam. Buntutnya, Trump kembali menyerukan agar The Fed memangkas suku bunga kembali.
Indeks dolar AS turun 0,1% tergelincir ke 97,508, membukukan penurunan mingguan terbesar sejak 21 Juni. Dolar AS turun 0,5% terhadap yen yang melonjak menjadi 105,58 yen, setelah sebelumnya turun ke level terendah tujuh bulan di 105,25. Yen mencatat kenaikan mingguan kedua versus dolar AS dan kenaikan mingguan ketiga versus dolar Australia dan Selandia Baru. Franc Swiss naik versus dolar dan euro. Dolar AS terakhir turun 0,3% pada 0,9723 franc, sementara euro tergelincir 0,1% pada 1,0892 franc.
Dalam perdagangan dengan mata uang lainnya, Euro naik 0,2% terhadap Dolar AS menjadi $1,1205, menunjukkan sedikit reaksi setelah Salvini menyerukan pemilihan awal. Poundsterling Inggris turun 0,88% menjadi $1,2028 terhadap dolar AS dan 0,7% terhadap euro, yang naik menjadi 92,81 pence, setelah data lemah Inggris.
Aksi jual obligasi Italia setelah partai Liga mengajukan mosi tidak percaya terhadap koalisi pemerintahnya sendiri juga menambah ketegangan global. Kepala populis partai itu, Matteo Salvini, berharap langkah itu akan memicu pemilihan awal dan mengangkatnya sebagai pemimpin baru.Hal ini memberikan tekanan pada upaya penguatan Euro.
Mata uang euro memang menguat pada sesi perdagangan akhir pekan Jumat, tetapi posisinya menjadi rentan akibat kisruh politik Italia. Koalisi partai pemerintah pecah setelah Wakil Perdana Menteri, Matteo Salvini mengatakan kolalisi pemerintah tidak bisa bekerja dan meminta diadakan Pemilu Sela. Partai Lega pimpinan Matteo Salvini pecah kongsi dengan Partai Pergerakan Lima Bintang (Five Star Movement/M5S) akibat masalah jalur kereta cepat yang menghubungkan Italia dan Prancis.
Kisruh politik Italia menambah sentimen negatif bagi mata uang euro yang saat ini dibebani potensi pemangkasan suku bunga oleh European Central Bank (ECB) pada bulan September. Presiden ECB, Mario Draghi, saat mengumumkan kebijakan moneter 25 Juli lalu bersikap tidak terlalu dovish yang membuat pelaku pasar memprediksi ECB tidak akan terlalu agresif dalam melonggarkan kebijakan moneter. Namun, kini kondisi berubah, isu perang mata uang membuat ECB bisa saja agresif dalam melonggarkan kebijakan moneter. Sebelum isu perang mata uang muncul, euro menyentuh level terlemah sejak Mei 2017 sebesar US$ 1,1025 pada 1 Agustus lalu.
Semenjak saat itu euro telah menguat lebih dari 1,5%, hal tersebut tentunya memberikan tekanan bagi ECB untuk menggelontorkan stimulus guna meredam penguatan euro, bahkan ada kemungkinan melemahkan euro. Penguatan Euro berdampak kurang bagus, produk-produk dari zona euro akan kalah bersaing dengan China yang nilai tukar mata uangnya terus dilemahkan. Ekspor dari Eropa kemungkinan akan merosot, dan berdampak buruk bagi perekonomian. Euro masih bisa selamat dari penurunan akibat Bank Sentral AS juga diprediksi kuat akan agresif memangkas suku bunga di tahun ini. Tetapi dengan kondisi politik Italia yang sedang memanas, tekanan menjadi lebih besar, dan berpeluang melemah di pekan ini.
Dari Inggris dikabarkan bahwa perekonomian mereka menyusut untuk pertama kalinya sejak 2012 di kuartal kedua dan sterling merosot ke level terendah 31-bulan terhadap dolar. Poundsterling sendiri dalam perdagangan di akhir pekan juga jeblok mendekati level terlemah 34 tahun. Dalam sehari poundsterling kehilangan nilainya sebesar 0,8% dan mencapai level US$ 1,2034, berdasarkan data Refinitiv.
Level tersebut menjadi yang terlemah sejak Januari 2017. Kala itu level terlemah poundsterling adalah US$ 1,1979. Mundur lagi ke belakang, poundsterling mengalami flash crash pada 7 Oktober 2016, ketika secara tiba-tiba poundsterling jeblok ke level US$ 1,1450, namun tidak lama kemudian kembali pulih dan mengakhiri perdagangan hari itu di level US$ 1,2432, melansir data Refinitiv. Ini merupakan level terlemah 31 tahun poundsterling melawan dolar AS. Saat itu nilai tukar poundsterling tiba-tiba jeblok hampir 10%, dan dengan cepat berbalik lagi.
Belum jelas penyebab flash crash, tetapi media-media internasional melaporkan hal itu sebagai akibat aksi jual besar yang dilakukan sistem komputer. Jika tidak melihat titik terendah saat flash crash, maka level terlemah poundsterling dalam 31 tahun terakhir adalah US$ 1,2054 di bulan Januari 2017.
Melihat posisi saat ini, level tersebut tidak terlalu jauh, jika berhasil, dilewati, maka poundsterling akan mencatat level terlemah 34 tahun melawan dolar AS. Poundsterling di pekan ini akan menjadi mata uang yang paling menarik untuk ditransaksikan.
Tekanan kuat dialami pound setelah data menunjukkan ekonomi Inggris mengalami kontraksi di kuartal-II 2019. Data dari Office for National Statistic (ONS) menunjukkan pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) Inggris sebesar -0,2% alias berkontraksi di kuartal-II tahun ini dari kuartal sebelumnya yang tumbuh 0,5%.
Kontraksi tersebut merupakan yang pertama sejak kuartal-IV 2012. Kontraksi yang dialami Inggris bahkan terjadi sebelum keluar dari Uni Eropa pada 31 Oktober nanti, dan kini ancaman resesi menjadi semakin nyata. Suatu negara dikatakan mengalami resesi jika PDB-nya berkontraksi dua kuartal berturut-turut.
Inggris diprediksi akan mengalami resesi seandainya keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan apapun atau yang dikenal dengan istilah no-deal Brexit pada 31 Oktober nanti. Namun kini, sebelum Brexit terjadi ekonomi Inggris malah sudah berkontraksi.
Poundsteling kembali akan mendapat “cobaan” dari rilis data rata-rata upah Inggris pada hari Selasa (13/8/19) dan data inflasi pada hari Rabu (14/8/19). Mata uang Inggris ini berpeluang amblas lebih dalam jika dua data tersebut menunjukkan penurunan.
Tanpa dua data tersebut poundsterling juga terlihat masih akan tertekan akibat potensi terjadinya no-deal Brexit yang semakin menguat. Hasil survei Reuters terhadap para ekonom pada periode 2-7 Agustus lalu menunjukkan potensi terjadinya no-deal Brexit sebesar 35%, naik dibandingkan survei yang dilakukan bulan Juli lalu sebesar 30%.
Selain itu hasil survei Reuters terhadap ahli strategi forex menunjukkan poundsterling diprediksi akan amblas dan bergerak di kisaran US$ 1,17-US$ 1,20 sebelum 31 Oktober. Poundsterling berpeluang masih akan terus melemah selama tertahan di bawah level US$ 1,21 yang ditembus pada perdagangan Jumat.