ESANDAR, Jakarta – Menteri Keuangan China, Liu Kun menegaskan bahwa Perang Dagang dengan Amerika Serikat (AS), akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi China. Meskipun hanya sedikit, namun terasa nyata terlebih bila perang dagang ini berlangsung lebih lama.
Dalam sebuah wawancara dengan Reuters, pada Kamis (23/08) kemarin, Liu pendapatnya bahwa ia lebih memperhatikan dampak yang ditimbulkan dalam perang dagang China – AS terhadap pekerjaan di China. Ditambahkan olehnya bahwa beberapa perusahaan akan terpengaruh, ekspor akan berkurang, dan produksi akan dipangkas, ujarnya.
Wawancaranya itu merupakan yang pertama dengan media sejak ia menjabat di bulan Maret kemarin. Sebelumnya, Liu merupakan pejabat pemerintahan di provinsi Guangdong. Selama lebih dari dua dekade ia menempati sejumlah posisi dalam pemerintahan, termasuk kepala biro keuangan dan menjadi wakil gubernur provinsi di bagian selatan Cina ini. Dibawah kepemimpinannya, propinsi ini cenderung berorientasi ekspor pada sejak tahun 2010.
Liu mengatakan sangat prihatin dengan kemungkinan berkurangnya lapangan pekerjaan di China. Tingkat pengangguran berbasis survei untuk kota China naik menjadi 5,1% dari 4,8% pada bulan Juni. Pemerintah bertujuan untuk mempertahankan tingkatnya tetap di bawah 5,5% tahun ini. China berencana meningkatkan pengeluaran fiskalnya demi mendukung pekerja atau pengangguran yang dirugikan ketika tarif impor yang lebih tinggi diterapkan.
“Kami akan membuat persiapan yang memadai dalam hal kebijakan fiskal dan membantu para pekerja yang menganggur menemukan pekerjaan baru dan memastikan jaminan sosial dasar mereka,” kata Liu. Pengeluaran itu tidak akan menyebabkan China melampaui target defisit anggaran 2018 sebesar 2,6% dari produk domestik bruto (PDB). Liu optimis tentang pendapatan pemerintah tahun ini dan mengatakan capaiannya bahkan mungkin melebihi perkiraan.
Beijing mempercepat rencana untuk berinvestasi senilai miliaran dolar dalam proyek-proyek infrastruktur karena ekonominya menunjukkan tanda-tanda semakin melemah. Awal bulan ini, Kementerian Keuangan mengatakan kepada pemerintah daerah untuk mempercepat penerbitan obligasi khusus yang digunakan untuk mendanai proyek-proyek infrastruktur.
Pemerintah daerah diizinkan mengeluarkan 1,35 triliun yuan (US$196 miliar atau sekitar Rp 2.868 triliun) obligasi khusus tahun ini. Pada paruh pertama, lebih dari 300 miliar yuan obligasi dikeluarkan. Penerbitan Obligasi ini bisa saja bertambah jumlahnya dan melampaui 1 triliun yuan dalam tiga kuartal pertama tahun ini, kata Liu.
Menurut Liu, ada tiga hal yang perlu dilakukan China dengan baik, yaitu menurunkan pajak dan memotong biaya, menjaga intensitas pengeluaran fiskalnya sehingga efeknya dapat lebih baik dirasakan, dan mendukung ekonomi riil dan meringankan beban perusahaan. Nilai pemotongan pajak dan pengeluaran akan lebih dari 1,1 triliun yuan tahun ini, melampaui perkiraan pemerintah, kata Liu.
Pada tanggal 1 Mei, China memangkas pajak pertambahan nilai di sektor manufaktur, transportasi, konstruksi, telekomunikasi, dan pertanian. Tetapi semua itu tidak berarti China akan mengeluarkan stimulus besar-besaran atau mundur dari kampanyenya untuk mengurangi risiko utang dalam ekonomi.
“Ketika kita berbicara tentang kebijakan fiskal yang lebih proaktif, kita tidak berbicara tentang stimulus besar-besaran, juga kita tidak ingin menerima risiko keuangan, apalagi sampai menyebabkan pemerintah harus mengurus semuanya,” kata Liu. (Lukman Hqeem)