ESANDAR, Jakarta – Pasokan minyak mentah AS terus turun selama 10 minggu terakhir ini. Hal ini mendorong kenaikan harga minyak mentah.
Lembaga Informasi Energi AS, EIA melaporkan bahwa persediaan minyak mentah AS turun untuk 10 minggu berturut-turut sebesar 1,071 juta barel. Persediaan minyak bensin naik 3,1 juta barel, sedangkan persediaan minyak pemanas dan solar naik sebesar 639 ribu barel. EIA juga menyebut bahwa produksi minyak AS juga mengalami kenaikan 128 ribu barel per hari (bph) menjadi total 9,878 juta bph, mendekati rekor tertinggi produksi minyak serpih dalam sejarah AS pada tahun 1970 sebesar 10,04 juta bph.
Hal ini membuat harga minyak West Texas Intermediate di bursa New York Mercantile Exchange ditutup menguat $1,42 atau 2,20% di level $65,89 per barel. Sedangkan minyak Brent di pasar ICE Futures London ditutup menguat $0,79 atau 1,13% di harga $70,75 per barel.
Hasil perdagangan kemarin juga telah mempersempit jarak harga atau spread antara minyak Brent dengan WTI menjadi sekitar $4 per barel dari sebelumnya yang sempat membuat jarak keduanya sekitar $7 per barel. Sempitnya spread tersebut akan memberi peluang bahwa produksi minyak AS bisa menurun di kemudian hari karena harga minyak Brent terlihat lebih murah di mana konsumen global sebetulnya lebih memilih Brent karena kualitasnya lebih bagus.
Harga minyak berhasil menjaga sisi penguatannya juga di bantu oleh pernyataan dari Menteri Energi Arab Saudi Khalid al-Falih serta Menteri Energi Rusia Alexander Novak, bahwa OPEC dan Rusia masih belum memikirkan untuk segera mengakhiri komitmen pembatasan produksi minyak 1,8 juta bph akan diakhiri pada Desember 2018 ini. Al-Falih dan Novak berharap bahwa setelah akhir Desember 2018, pihak OPEC sebaiknya terus bekerja sama dengan Rusia dan 11 negara produsen minyak lainnya untuk tetap menjaga pasokan minyak dengan stabil.
Al-Falih dan Novak juga menyatakan bahwa keseimbangan pasokan minyak masih jauh dari harapan yang diinginkan, sehingga dirinya memperkirakan setidaknya keseimbangan tersebut bisa dilihat setelah 2019 nanti. Artinya butuh waktu yang panjang komitmen pembatasan produksi minyak tersebut baru dikatakan berhasil mengatasi masalah kelebihan pasokan.
IMF dalam pertemuan di Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, menyatakan bahwa proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2018 dan 2019 mengalami kenaikan 0,2% menjadi 3,9% berkat adanya dorongan pemotongan pajak AS akhir tahun lalu. Naiknya pertumbuhan global ini tentu membuat kebutuhan alias permintaan terhadap energi atau minyak akan naik karena produktivitas akan mengalami peningkatan.
Penguatan harga minyak juga didukung oleh melemahnya dolar AS pasca ucapan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin bahwa pelemahan dolar AS akan membantu kinerja perdagangan AS. (Lukman Hqeem)