ESANDAR, Jakarta – Dolar AS terus membukukan kenaikannya dalam perdagangan hari Selasa (09/10). Penguatan Dolar AS tak terbendung setelah secara mengejutkan, Bank Sentral China mengeluarkan kebijakan yang meringankan setoran giro perbankan nasional. Akibatnya, Dolar AS terkerek naik pula.
Secara umum, setidaknya ada tiga faktor yang membuat dolar AS begitu perkasa. Pertama adalah rilis data pengangguran Negeri Paman Sam periode September 2018 sebesar 3,7%. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 3,9% dan dibandingkan konsensus Reuters sebesar 3,8%. Angka pengangguran 2,7% sekaligus menjadi yang terendah sejak 1969.
Dengan data ini, membuka harapan daya konsumsi masyarakat AS akan menguat karena mereka yang mencari pekerjaan semakin mudah mendapatkannya. Ancaman inflasi pun semakin nyata, yang membuat The Federal Reserve kian yakin untuk menaikkan suku bunga acuan. Dengan Kenaikan suku bunga ini, akan membuat imbalan investasi di AS, utamanya di instrumen berpendapatan tetap, akan terdongkrak. Akibatnya, arus modal mengarah ke dolar AS karena investor masuk ke pasar obligasi.
Faktor kedua adalah kebijakan Bank Sentral China (PBoC) yang menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 100 basis poin. Kebijakan ini diperkirakan menambah likuiditas perbankan sebesar CNY 750 miliar dan ketika berputar di sistem perekonomian nilainya bertambah menjadi CNY 1,2 triliun. Likuiditas yuan yang membanjir membuat mata uang ini melemah dan memuluskan jalan bagi dolar AS untuk melaju.
Ketiga adalah perkembangan di Italia. Pemerintahan Italia pimpinan Perdana Menteri Giuseppe Conte merencanakan anggaran 2019 dengan defisit 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Lebih tinggi dibandingkan target tahun ini yaitu 1,6% PDB. Uni Eropa tidak sepakat dengan Italia. Melalui surat yang ditujukan kepada Menteri Ekonomi Italia Giovanni Tria, Komisi Uni Eropa meminta pemerintah Negeri Pizza untuk menurunkan defisit anggaran 2019 menjadi 1,4% PDB.
“Defisit anggaran yang direncanakan pemerintah Italia melanggar kesepakatan yang direkomendasikan oleh Uni Eropa. Ini bisa menjadi sumber kekhawatiran. Kami meminta otoritas untuk memastikan rencana anggaran sesuai dengan aturan fiskal yang diterima secara umum,” tulis surat tersebut, seperti dikutip Reuters.
Namun Italia membangkang. Luigi Di Maio, Wakil Perdana Menteri Italia, berkeras untuk tetap menerapkan defisit 2,4% PDB karena pemerintah ingin memberikan subsidi yang lebih besar kepada rakyat miskin dan para pensiunan.
“Kami tidak akan berbalik arah, karena kami melihat rencana ini tidak mengkhawatirkan bagi pasar. Tidak ada rencana B, karena kami tidak akan mundur. Kami bisa menjelaskan kebijakan ini, tetapi kami tidak akan mundur,” tegas Di Maio, mengutip Reuters.
Lagi-lagi perkembangan ini memicu perburuan dolar AS karena investor memilih mencari aman dan menghindari aset-aset berisiko, seperti saham. Greenback semakin punya alasan untuk terus menguat.
Hal ini terlacak dalam perdagangan EURUSD yang mencapai titik terendah di 1.14586, terendah sejak 20 Agustus kemudian menguat kembali untuk mengurangi kerugian di tengah dollar AS yang lebih kuat, kekhususan terhadap mata uang Eropa.
Pada perdagangan GBPUSD, Poundsterling terlihat mencoba untuk membalikkan koreksi yang terjadi sejak pertengahan September dari hasil reli sejak pertengahan Agustus silam. Penurunan ini terjadi di tengah memudarnya optimisme Brexit. Masa depan kesepakatan Inggris dengan Uni Eropa sejauh ini masih buram, memberikan tekanan tambahan pada poundsterling.
Aussie terlihat melakukan konsolidasi pada awal pekan ini, mengikuti serangkaian pasokan dan lima hari penuh dalam penurunan ke wilayah negatif dari tertinggi 20 September.
Sementara dalam perdagangan USDJPY, bergerak menembus level bawah 113.500 karena yen Jepang tangguh terhadap mata uang lain di aksi risk aversioan. Namun, pasangan ini berada di bawah tekanan jual baru dalam satu jam terakhir dan menyentuh level terendah dalam dua minggu di 112.80. (Lukman Hqeem)