Bursa saham Asia telah berubah berhati-hati dimana investor sedang menunggu rilis data inflasi Amerika Serikat untuk isyarat baru kebijakan ekonomi kedepannya. Hal ini telah mengubah aset potensial ke samping karena investor menghindari terjebak dalam pergerakan volatil sebelum rilis.
Sementara itu, indek Dolar AS (DXY) menghadapi barikade di sekitar 102,80 dan indek berjangka S&P500 menunjukkan kinerja yang lemah setelah dua sesi perdagangan sebelumnya mengalami kenaikan berturut-turut. Pada saat penulisan, Nikkei225 Jepang diperdagangkan hampir datar, ChinaA50 turun 0,17%, Hang Seng turun 0,12%, dan Nifty50 tergelincir 0,20%.
Bursa saham China terkena dampak setelah rilis data Indeks Harga Konsumen (CPI) China yang beragam. Angka CPI tahunan tetap sesuai dengan ekspektasi sebesar 1,8% dan lebih tinggi dari rilis sebelumnya sebesar 1,6%. Sedangkan indeks harga di gerbang pabrik turun tajam, menandakan lemahnya daya tawar produsen. Indeks Harga Produsen (PPI) telah menyusut sebesar 0,7% vs ekspektasi kontraksi 0,1%. Penurunan angka PPI saya perkirakan akan berdampak pada pasar saham China di masa depan karena harga yang lebih rendah kemungkinan akan berdampak pada margin operasi mereka.
Sementara itu, bursa saham Jepang cenderung menampilkan perputaran liar karena Bank of Japan (BoJ) akan meninjau efek samping dari kebijakan moneter ultra-longgar periode sekuler yang dikelola oleh bank sentral. Pejabat Jepang sedang mempertimbangkan untuk mengubah paradigma pendekatan kebijakan moneter mereka karena jalan keluar menuju kebijakan moneter yang mudah dapat memberikan dukungan kepada yen Jepang untuk jangka waktu yang lebih lama.
Pada perdagangan komoditi, harga minyak mentah mempercepat kenaikan lebih jauh di atas $78,00 di tengah optimisme atas pemulihan pertumbuhan ekonomi China yang dipimpin oleh pembukaan kembali ekonomi dan taruhan berat pada pelunakan inflasi AS lebih lanjut.