ESANDAR, Jakarta – Krisis Turki mendorong kenaikan Dolar AS dan meruntuhkan harga emas. Tidak tanggung-tanggung, mengirimnya ke harga termurah dalam 17 bulan terakhir.
Pada perdagangan Senin (13/08), harga emas untuk pertama kalinya menembus harga bawah di $1.200. Menyentuh harga $1199.30 untuk pertama kalinya sejak Maret 2017 yang lalu. Harga menguat kembali, sehingga membuat emas untuk kontrak bulan Desember di bursa berjangka New York Mercantile Exchange divisi Comex akhirnya ditutup minus $18,10 atau 1,48% di level $1200,90 per troy ons.
Penurunan harga emas hingga dibawah $1200.00 disebabkan oleh penguatan dolar AS yang menjadi safe haven ketika terjadinya pelemahan mata uang euro. Indek dolar naik 0,03% di level 96,220. Krisis mata uang Lira Turki memicu pelemahan mata uang tunggal euro, dan investor yang cemas terhadap kondisi tersebut lebih beralih ke dolar sebagai safe haven dari pada emas.
Emas ternyata gagal menciptakan minat beli bagi investor ditengah krisis Turki dan perang dagang saat ini. Perang dagang terbaru di mana Presiden AS Donald Trump menekan Turki lewat tarif impor logam Turki. Pasar khawatir menimbulkan krisis di Turki yang bisa membawa petaka kegagalan sistem keuangan baru. Tak heran bila pasar mata uang dunia bergejolak dengan aksi safe haven kepada dolar AS. Kondisi yang demikian ini membuat emas terpukul secara telak.
Mestinya, Emas bisa menjadi instrumen investasi pertahanan aset selama masa ketidakpastian ekonomi. Namun kali ini gagal karena investor beralih langsung kepada aset berlatar belakang dolar AS yang lebih menjanjikan. Bagi Investor, masa depan Dolar AS lebih menjanjikan. Asumsi ini didukung dengan tren pertumbuhan ekonomi AS yang terus positif.
Peristiwa di Turki, menjadi berkah bagi Dolar AS. Dari ketidak yakinan pelaku pasar atas kondisi ekonomi AS, berbalik menjadi ketakutan akan krisis keuangan yang meluas. Krisis di Turki berdampak pada stabilitas Euro. Pasar bergejolak dan investor khawatir terhadap kegagalan sistem keuangan di Turki. Investor memilih aksi safe haven kepada dolar AS.
Memang pada minggu lalu, harga logam mulia sempat naik. Kenaikan ini dipicu data ekonomi surplus perdagangan Cina yang tidak turun sebesar perkiraan pasar. Inflasi Cina disisi lain juga membaik, meski perang dagang dengan AS baru dimulai bulan lalu. Bagi investor, ini menandakan bahwa daya beli konsumen Cina yang notabene merupakan negara konsumen emas terbesar didunia masih besar dan terjaga tinggi. Sementara sebagian investor justru menyangsikan kinerja ekonomi AS di kuartal kedua saat perang dagang terjadi.
Investor kemudian mendapati tingkat inflasi konsumen AS naik lagi, bahkan tercatat sebagai yang terbaik sejak September 2008. Kondisi ini semakin positif dengan diiringi klaim pengangguran mingguan yang terus membaik lagi. Bahkan klaim yang terbaik dalam 50 tahun terakhir. Tentu saja ini membangkitkan dorongan bahwa rencana kenaikan suku bunga the Federal Reserve semakin kuat.
Investor kini meyakini bahwa The Federal Reserve semakin optimis dalam menaikkan suku bunga dibulan depan. Dalam pandangan terkini, the Fed menilai masa depan ekonomi AS cukup meyakinkan sehingga suku bunga akan naik lagi di tahun ini. Prospek ekonomi yang baik ini mendapat dukungan moril dari rasa optimis Trump tentang keberhasilannya dalam melakukan perang dagang. Alhasil emas akan sulit bangkit kembali dalam waktu dekat ini. (Lukman Hqeem)