Gencatan perang dagang tercapai dalam pertemuan Donald Trump dan Xi Jinping di Argentina.

Esandar Arthamas Berjangka merupakan pialang resmi yang terdaftar di BAPPEBTI. Anggota dari Bursa Berjangka Jakarta dan Kliring Berjangka Indonesia.

ESANDAR, Jakarta – Pertemuan antara Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dengan Presiden China Xi Jinping di sela-sela KTT G-20 di Argentina pada akhir pekan lalu telah membuahkan hasil positif.


Sedianya kenaikan tarif itu berlaku mulai 1 Januari 2019. Sementara itu, China sepakat untuk lebih banyak membeli produk AS mulai dari hasil pertanian, energi, manufaktur, dan sebagainya.

Washington dan Beijing juga sepakat untuk bernegosiasi seputar transfer teknologi, hak atas kekayaan intelektual, hambatan non-tarif, pencurian siber, dan pertanian. Apabila tidak ada perkembangan yang memuaskan selama 90 hari, maka kedua pihak sepakat bea masuk bagi produk China ke AS akan naik dari 10% menjadi 25%.


Atas kesepakatan ini, lembaga pemeringkat Moody’s mengatakan keputusan kedua negara untuk melakukan genjatan senjata sementara bukanlah hal yang patut dibanggakan. Dalam pertemuan, China dan AS mencapai kesepakatan 90 hari gencatan senjata dalam sengketa perdagangan. Pernyataan tertulis Gedung Putih menyebutkan, AS batal menaikkan tarif bea masuk dari 10% menjadi 25% untuk impor produk-produk China senilai US$ 200 miliar.

“Kesepakatan yang sempit dan konsesi sederhana dalam perselisihan perdagangan yang sedang berlangsung tidak akan menjembatani jurang yang lebar antara kepentingan ekonomi, politik dan strategis masing-masing,” kata Atsi Sheth, salah seorang direktur Moody’s kepada CNBC Indonesia, Senin (3/12).

Lebih lanjut, Sheth mengatakan, sebagai dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia, AS dan China terlalu kuat untuk menyerahkan kepentingan nasional mereka masing-masing dalam negosiasi satu sama lain. Namun, perang dingin ekonomi akan menjadi sangat berbahaya untuk kedua negara.

Ini karena keduanya memiliki hubungan yang mendalam satu sama lain. Oleh karena itu, hubungan antara kedua negara akan terancam oleh konflik dan kompromi tersebut.

Selain itu, ketegangan yang berlanjut akan mengganggu perdagangan global, mengikis keefektifan rezim perdagangan internasional multilateral, dan mengurangi pertumbuhan. Karena setiap perkembangan baru tercermin di pasar keuangan, itu akan mempengaruhi penilaian dan biaya pinjaman untuk banyak penerbit utang.

“Ketegangan antara AS dan China akan menghadirkan kondisi berupa memburuknya kualitas kredit global. Dampaknya akan terasa di tingkat global, negara, sektor, dan perusahaan. Juga, akan mempengaruhi kondisi kredit global di empat bidang utama, yaitu perdagangan, teknologi, investasi dan geopolitik,” kata Sheth.


Disisi lain, pelaku pasar tetap harus berhati-hati. Pasalnya, ada satu risiko yang bisa membuat Sinterklas kabur lagi dari Wall Street. Risiko yang dimaksud adalah terkait dengan proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit). Dalam sidang pada 25 November silam, para pemimpin Uni Eropa sebenarnya sudah menyepakati draf perjanjian Brexit yang diajukan pemerintahan Perdana Menteri Inggris Theresa May.

May mengatakan dalam kesepakatan tersebut Inggris tetap memiliki kewenangan untuk mengatur batas-batas wilayah dan anggarannya sendiri. London akan membuat kebijakan yang serasi dengan Brussel sehingga menciptakan kepastian bagi para pelaku usaha.

Namun, tantangan yang tak kalah besar akan datang kala May membawa proposal tersebut kepada parlemen untuk disetujui. Pemungutan suara kemungkinan akan berlangsung pada 11 Desember, seperti dikutip dari CNBC International.

Jika gagal mendapatkan persetujuan parlemen, bukan tak mungkin May akan dilengserkan dari posisinya atau yang lebih parahnya lagi, Inggris bisa keluar dari Uni Eropa tanpa adanya kesepakatan. (Lukman Hqeem)