ESANDAR, Jakarta – Pesanan pabrikan Jerman turun 4% dari bulan lalu. Ini merupakan penurunan terbesar sejak Januari 2017, yang berbalik dari kenaikan 2,6% pada bulan Mei. Pengamat sebenarnya berharap penurunan hanya terjadi sebesar 0,1% saja.
Menurut Biro Statistik Jerman, pesanan domestik dan asing keduanya mengalami penurunan dengan masing-masing jatuh 2.8 persen dan 4.7 persen. Pesanan baru dari kawasan euro turun 2.7 persen dan permintaan dari negara lain turun 5.9 persen. Secara tahunan, pesanan pabrik turun tak terduga 0.8 persen, berbanding terbalik dari kenaikan 4.7 persen pada bulan Mei. Pesanan diperkirakan naik 3.5%. Lebih lanjut, data menunjukkan bahwa perputaran manufaktur menurun 1 persen pada bulan Juni, dibandingkan dengan kenaikan 0,9 persen pada bulan Mei.
Sementara itu, Dana Moneter Internasional, International Monetary Fund (IMF) mengatakan bahwa surplus perdagangan Jerman, memicu ketegangan perdagangan dan menambah risiko yang dapat merusak stabilitas keuangan global. Maury Obstfeld, kepala ekonom IMF, menambahkan bahwa Jerman memiliki keraguan untuk mengurangi surplus anggaran dalam neracanya.
Padahal IMF dan Komisi Eropa telah lama mendesak Jerman untuk meningkatkan permintaan domestik dengan mengangkat upah dan investasi untuk mengurangi apa yang mereka sebut ketidakseimbangan ekonomi global. Sejak pemilihannya, Presiden AS Donald Trump juga berulang kali mengkritik kekuatan ekspor Jerman.
Obstfeld menambahkan bahwa negara-negara seperti Amerika Serikat, di mana saldo rekening giro eksternal terlalu rendah, harus mengurangi defisit anggaran, mereka mendorong rumah tangga untuk menabung lebih banyak dan secara bertahap menormalkan kebijakan moneter mereka. Negara-negara di mana keseimbangannya terlalu tinggi, seperti Jerman, harus meningkatkan belanja pemerintah, misalnya dengan berinvestasi dalam infrastruktur sehingga perusahaan berinvestasi lebih banyak di dalam negeri daripada mencarinya di luar negeri.
Sebaliknya, menurut Obstfeld, pendapatan eksternal yang lebih banyak bisa meningkatkan risiko gangguan mata uang atau penyesuaian harga asset di negara-negara yang dililit hutang. Hal ini tentu akan menimbulkan kerugian semua, katanya. Oleh sebab itu, Jika ada penyesuaian mendadak, maka baik negara debitor dan kreditor akan sama-sama menderita, ujarnya. (Lukman Hqeem)