Esandar Arthamas Berjangka merupakan pialang resmi yang terdaftar di BAPPEBTI. Anggota dari Bursa Berjangka Jakarta dan Kliring Berjangka Indonesia.

Indeks S&P 500 berada di jalur kerugian bulanan terbesarnya pada tahun 2023, tersentak oleh kenaikan imbal hasil Obligasi (Treasury) AS dimana investor melihat adanya prospek Federal Reserve akan mempertahankan suku bunga lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama.

Pada bulan Agustus, imbal hasil obligasi Treasury tenor 10-tahun keluar dari jalur kisaran perdagangan selama ini, 3,5% – 4%, mengurangi valuasi di pasar saham saat naik. Ini mengganggu paradigma yang sudah ada selama sebagian besar tahun ini.

Pasar saham AS merosot bulan ini karena investor bersiap untuk menerima komentar dari Ketua Fed Jerome Powell minggu ini di Simposium Ekonomi Jackson Hole di Wyoming yang dijadwalkan pada hari Jumat. Investor menghadapi lonjakan imbal hasil pada bulan Agustus dan juga memantau kemungkinan dampak lanjutan dari krisis yang terjadi di Tiongkok, negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia.

Meskipun The Fed telah memperlambat laju kenaikan suku bunganya tahun ini dengan latar belakang berkurangnya inflasi di AS, imbal hasil surat utang negara bertenor 10 tahun di bulan ini melonjak ke level tertinggi sejak tahun 2007, sehingga mengejutkan para investor.

Sungguh ironis bahwa suku bunga telah bergerak lebih tinggi ” ketika inflasi turun “cukup besar” berdasarkan rata-rata pergerakan indeks harga konsumen selama tiga dan enam bulan terakhir.

Pasar saham AS sebagian besar berakhir lebih rendah pada hari Jumat, dengan S&P 500 SPX menderita kerugian minggu ketiga berturut-turut, menurut Data Pasar Dow Jones. Indeks yang diikuti secara luas turun 4,8% sejauh ini di bulan Agustus, dengan laju penurunan bulanan terbesar sejak Desember, data FactSet menunjukkan.

Nasdaq dan Dow Jones juga mengakhiri hari Jumat dengan kerugian mingguan. Nasdaq yang sarat saham-saham teknologi bergabung dengan S&P 500 dalam penurunan tiga minggu berturut-turut.

Ada beberapa kekhawatiran investor di pasar saham bahwa kekuatan ekonomi AS dapat menyebabkan Fed meningkatkan pengetatan kebijakan moneternya. Pertama karena ada ketakutan, ditambah dengan peningkatan pasokan surat utang AS, tampaknya membebani ekuitas.

Ada jumlah yang luar biasa dari penerbitan tagihan dan pengurasan likuiditas yang menurut saya mulai terjadi, mengacu pada tagihan Treasury, atau utang pemerintah AS yang jatuh tempo dalam beberapa bulan dan telah menghasilkan lebih dari 5% akhir-akhir ini.

Pada awal tahun ini saja, banyak perusahaan mengeluarkan sejumlah uang dari pasar ekuitas, mengurangi saham teknologi untuk diinvestasikan dalam tagihan Treasury. Hal tersebut memposisikan perusahaan untuk berinvestasi dalam kemunduran pasar saham, dimana pihak Wells Fargo memperkirakan S&P 500 akan berakhir pada tahun 2023 pada level 4,100.

S&P 500 berakhir pada hari Jumat di 4,369.71, turun 8.9% dari rekor penutupan pada Januari 2022, menurut Dow Jones Market Data.

Suku bunga The Fed belum selesai mendaki untuk memerangi inflasi inti yang lengket dan Ketua Jerome Powell dapat mengambil kesempatan pada pertemuan Jackson Hole untuk memberi sinyal ke pasar bahwa bank sentral tidak akan memangkas suku bunga. Powell mungkin terus terdengar “hawkish” dalam menegaskan kembali bahwa Fed dapat kembali menaikkan suku bunga acuannya untuk menurunkan inflasi ke target 2%. Ketua Powell dijadwalkan untuk berbicara pada pertemuan Jackson Hole pada 25 Agustus.

Kondisi ekonomi AS sebenarnya berjalan sangat baik saat ini. Diyakini bahwa inflasi bisa turun tanpa resesi. Banyak investor telah lama khawatir bahwa Fed berisiko memicu resesi dengan terus menaikkan suku bunga setelah menaikkannya dengan cepat tahun lalu untuk menjinakkan inflasi yang tinggi. Kecuali perekonomian mengalami keretakan, tentu saja kita tidak akan mendapatkan penurunan suku bunga tahun ini.

Namun perlu diantisipasi bahwa The Fed mungkin mulai menurunkan suku bunga secara perlahan pada musim semi 2024 jika inflasi terus menurun menuju 2%. Bank sentral mungkin akan mempercepat penurunan suku bunga jika pasar tenaga kerja mulai “menyalakan lampu oranye bahwa kita akan menuju resesi” dengan kehilangan pekerjaan bulanan berturut-turut dalam laporan pekerjaan penggajian nonpertanian.

Sementara itu, imbal hasil Treasury 10-tahun telah meningkat selama lima minggu berturut-turut, kenaikan terpanjang sejak Maret, hingga berakhir Jumat di 4,251%, menurut Dow Jones Market Data. Nilai tukar sedikit turun pada hari Jumat setelah pada 17 Agustus berakhir di level tertinggi sejak November 2007.

Kenaikan ini sebagian disebabkan oleh peningkatan pasokan utang pemerintah AS, efek riak dari Bank of Japan yang mengubah kontrol kurva imbal hasil untuk memungkinkan imbal hasil 10 tahunnya naik, dan Treasury bills menawarkan suku bunga yang kompetitif sekitar 5,5 % tanpa risiko kredit atau durasi.

Sementara ekonomi AS berjalan dengan baik, sayangnya tidak demikian dengan China. Sektor properti negara itu telah menderita sementara investor khawatir ekonominya yang melambat dapat berakhir dalam resesi.

Perekonomian China yang melambat dapat mengurangi tekanan terhadap permintaan komoditas global, sehingga berpotensi menimbulkan efek deflasi yang membantu menurunkan biaya bagi perusahaan. Disisi lain, pelemahan ekonomi China juga dapat merugikan pendapatan produsen dan para pengecer AS yang melakukan penjualan ke negara tersebut.

Sejauh ini memang gambaran pendapatan tampaknya masih cukup bagus untuk paruh kedua tahun ini bagi sejumlah perusahaan AS. Hal ini membuat para investor mengamati dengan cermat Powell dalam upayanya menyeimbangkan risiko terlalu dinginnya perekonomian AS dalam upayanya menjaga inflasi tetap terkendali dengan kebijakan suku bunga yang restriktif. The Fed bulan lalu menaikkan suku bunga acuan ke kisaran target 5,25% hingga 5,5%, tertinggi dalam 22 tahun.

Jika dia mulai mengibarkan bendera bahwa inflasi harus naik secara signifikan agar mencapai tingkat inflasi yang diinginkan, maka itu adalah sebuah masalah.