Australia memiliki ketergantungan signifikan dengan China dalam hubungan perdagangan. (Foto Istimewa)

Esandar Arthamas Berjangka merupakan pialang resmi yang terdaftar di BAPPEBTI. Anggota dari Bursa Berjangka Jakarta dan Kliring Berjangka Indonesia.

ESANDAR, Jakarta – Dengan kondisi ekonomi yang bagus, ditengah kondisi ekonomi global yang tidak menentu, Australia harus bersikap hat-hati dalam perdagangan dengan China. Sebuah kajian terkini, menunjukkan ketergantungan Australia terhadap China cukup signifikan.


Dalam sebuah laporan terbaru yang diterbitkan hari Jumat (26/10/2018) menyebutkan bahwa perekonomian Australia bisa mengalami kemunduran karena keributan politik di dalam negeri dan terlalu tergantung dalam perdagangan dengan China.
Bagi Australia, posisi China sangat signifikan karena negeri Tirai Bambu tersebut merupakan pembeli terbesar biji besi, baja, wool dan minuman anggur dari negeri Kanguru. Tak heran apabila China memutuskan memboikot Australia, banyak warga Australia akan terpengaruh hidupnya. Disisi lain, bila terjadi keributan politik dan banyaknya pergantian Perdana Menteri juga mengkhawatirkan.


Laporan oleh Edward McBride, Editor Asia Majalah The Economist sebagaimana dilansir dari ABC mengatakan Australia sudah menjadi ‘salah satu negara dengan perekonomian terbaik di dunia’ karena pertumbuhan ekonomi yang stabil dan ketahanan melewati guncangan dua kriris ekonomi dunia. Disebutkan juga bahwa tidak ada negara lain yang pernah mengalami pertumbuhan ekonomi seperti yang dialami Australia.


McBride mengatakan ini terjadi karena adanya reformasi yang dilakukan 30 tahun lalu oleh mantan perdana menteri Bob Hawke dan Paul Keating – yang mengambangkan nilai dolar dan mederegulasi sektor keuangan – dan juga adanya diversifikasi ekonomi belakangan di masa berakhirnya booming di bidang pertambangan.


Berbicara dengan ABC, McBride mengatakan pertumbuhan ekonomi di Australia selama 27 tahun tanpa resesi dengan sistem layanan kesehatan yang terjangkau, dan pensiun merupakan faktor utama yang membuat Australia menjadi seperti saat ini. Namun laporan tersebut mengatakan ketergantungan Australia pada perdagangan dengan China, selain juga keributan politik dalam negeri memliki potensi menghancurkan kebijakan yang sudah menjadi kunci sukses ekonomi selama ini.


Boikot dari Beijing bisa mempengaruh kehidupan di Australia. Bagaimana tidak, China sebagai mitra dagang terbesar Australia mampu mengimpor dan ekspor bernilai $AUD 183 miliar tahun lalu menurut Komisi Perdagangan dan Investasi Australia. Mitra dagang terbesar kedua adalah Jepang dengan nilai $AUD 71 miliar yang mengambil posisi kedua menggeser Amerika Serikat tahun lalu.


China menjadi pembeli bij besi, wool, baja dan anggur terbesar dari Australia dan juga menjadi pasar bagi 16 persen turis yang mengunjungi Australia. Bahkan dalam laporannya, McBride mengatakan kemungkinan boikot ekonomi yang dilakukan China bisa memberi dampak besar bagi Australia. Kemungkinan adanya boikot tersebut bisa saja terjadi dan pernah terjadi di masa lalu.


Tahun lalu Beijing melakukan boikot terhadap Korea Selatan karena keputusan Seoul untuk memasang sistem anti rudal buatan Amerika Serikat. Namun Hans Hendrischke, profesor pakar bisnis China di University of Sydney mengatakan hubungan bisnis itu melibatkan dua pihak.

“Masalah dengan kemugkinan ini adalah bahwa pengurangan sepihak dalam hubungan dagang antara China dan Austalia akan menyebabkan kerugian ekonomi segera, dan tidak ada manfaat politiknya.” kata Hendrischke, sambil menambahkan kedua belah pihak menyediakan barang dan jasa yang tidak dimiliki oleh masing-masing negara.


Menteri Perdagangan Turisme dan Investasi Australia Simon Birmingham mengatakan kepada ABC bahwa Australia akan terus mendukung sistem perdagangan multilateral, dengan membuka ‘pintu-pintu baru’ bagi pengusaha Australia lewat perjanjian dagang dengan Indonesia, Hong Kong dan Uni Eropa.

“Kami sudah memiliki hubungan dagang dan investasi yang kuat dengan China, Amerika Serikat, dan banyak negara lain.” katanya dalam sebuah pernyataan. Ditambahkan olehnya bahwa saya terus mendesak semua pihak untuk menghormati aturan perdagangan internasional yang sudah lama ada, dan menghindari tindakan yang bisa merusak perekonomian mereka dan negara lain.”