Janet Yellen

Esandar Arthamas Berjangka merupakan pialang resmi yang terdaftar di BAPPEBTI. Anggota dari Bursa Berjangka Jakarta dan Kliring Berjangka Indonesia.

ESANDAR, Jakarta –  Mendekati hari-hari terakhirnya sebagai Gubernur Utama Bank Sentral AS, Janet Yellen mengutarakan tantangan terbesar bagi institusinya, yaitu inflasi yang masih dibawah 2%.

Inflasi memang cukup lamban kenaikannya, meski pasar tenaga kerja terus menunjukkan penguatannya. Inflasi utama yang diukur dari Indek Harga PCE, dimana tidak memasukkan unsur harga pangan dan bahan-bakar minyak, mengalami kenaikan 1,3% secara tahunan, pada kwartal ketiga tahun ini. Angka inflasi utama ini lebih baik dari kwartal kedua yang hanya sebesar 0,9% saja.

Berbicara di Universitas New York pada Selasa (21/11/2017) bersama koleganya Mervyn King, mantan Gubernur Bank Sentral Inggris, Janet Yellen menyampaikan bagaimana masalah tersebut menjadi ganjalan dalam pembuatan kebijakan moneter The Federal Reserve.  Kebijakan moneter mereka bertumpu pada usaha untuk menjaga keberlangsungan pasar tenaga kerja sembari mengejar target laju inflasi sebesar 2%.

Yellen berpendapat inflasi rendah bisa terbukti berbahaya, karena hal itu memungkinkan ekspetasi inflasi “melayang turun, dan ada beberapa bukti dan setelah bertahun-tahun inflasi rendah, mungkin akan melayang turun.”

Dia menambahkan jika tetap terjaga, dorongan untuk menaikkan dan menormalisasi suku bunga mungkin tidak terlihat. Ujung-ujungnya suku bunga acuan akan lebih lebih rendah dari masa sebelumnya. Kondisi tersebut bisa menjadi sesuatu yang normal di mana tingkat netral jauh lebih rendah daripada yang dipikirkan investor.

Tingkat suku bunga netral merupakan tingkat dimana suku bunga yang ada tidak menimbulkan ransangan ataupun perekonomian yang berjalan lamban. Dengan demikian, tanpa bank sentral harus melakukan kebijakan,  pengetatan moneter dianggap telah berjalan dengan sendirinya.

Para kolega saya mulai menyadari bahwa normal yang baru ini sangat-sangat berbeda, ungkap Yellen. Kita sebelumnya telah memperbaharui dengan menurunkan proyeksi sebelumnya, yang merupakan suku bunga netral. Sementara para pelaku pasar juga melakukan hal yang sama pula, imbuhnya. Sesuai dengan rencana kedepan dari Bank Sentral AS, seorang pejabat senior bank sentral memperkirakan suku bunga acuan dimasa depan bisa mencapai 2,75%. Sebelum sampai disana, perlu ada ruang bagi senjata The FED dalam merespon ketika kondisi menjadi buruk, ungkapnya.

Pada saat yang sama, dia menambahkan bahwa jika bank sentral menghapus kebijakan akomodatifnya akan dianggap terlambat. Menurutnya, kondisi ini berisiko memanaskan pasar tenaga kerja dan menyebabkan inflasi melampaui target 2%. “Kami menginginkan ekonomi dengan pasar kerja yang kuat dan stabil dibandingkan yang hanya menggelembung tapi kemudian malah meledak,” katanya.

Meski inflasi rendah sebelum tahun 2017 bukan lagi sebuah misteri, namun Janet Yellen masih terkejut dengan sejumlah data terkini yang masih saja tidak menggembirakan. Sejumlah sebab dikutipnya untuk menjelaskan alasan inflasi masih saja rendah, salah satunya jatuhnya harga pradata telepon yang tak terbatas.

Janet Yellen berharap, harga akan naik ditahun depan. Meski tidak secara jelas disebutkan data mana saja yang dianggap melemah saat ini. Yellen mengisyaratkan bahwa mereka akan memantau inflasi dengan seksama. Mungkin saja akan ada suatu penyakit bawaan dalam laju inflasi dimana dalam jangka panjang akan terus menyita perhatian mereka, tegasnya.

Pada hari Senin awal minggu ini, Janet Yellen sempat menyatakan bahwa dia tidak akan duduk sebagai anggota Dewan Gubernur Bank Sentral AS paska berakhirnya masa jabatan sebagai Gubernur Utama Bank Sentral AS pada Februari 2018. Seandainya Yellen mau menempati posisi sebagai anggota Dewan Gubernur Bank Sentral AS, hak menjabatnya akan berakhir pada 2024 nanti.

Implikasinya adalah, Presiden Donald Trump memiliki peluang terbuka untuk menunjuk dan mengangkat seseorang sebagai Gubernur Bank Sentral. Tentu saja, pasar meyakini bahwa seseorang tersebut pasti akan pro dengan kebijakan dan politik Trump. Komposisi anggota Dewan Gubernur Bank Sentral AS, jika semakin banyak diisi sosok-sosok yang agresif dalam kebijakan moneternya, bisa menjadi rujukan seperti apa gambaran kebijakan The Fed pada masa Gubernur Utama Bank Sentral Jerome Powell nantinya. (Lukman Hqeem)