ESANDAR, Jakarta – Melihat risiko dari krisis keuangan di Italia bagi Eropa , investor bermain aman dan mengalihkan dana ke aset-aset surgawi. Pilihan utama pelaku pasar adalah dolar AS, sehingga mata uang Negeri Adidaya kian menguat.
Investor cenderung bermain aman akibat perkembangan di Italia. Pemerintah Italia pimpinan Perdana Menteri Giuseppe Conte menargetkan defisit anggaran 2019-2021 sebesar 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Lebih tinggi dibandingkan target tahun ini yaitu 1,6% PDB.
Padahal, pemerintahan sebelumnya menargetkan defisit anggaran 2019 ada di kisaran 0,8% PDB. Bahkan pada 2020 pemerintah ingin memiliki anggaran seimbang.
Pelaku pasar grogi karena teringat pada kejadian 2009-2010, di mana Italia mengalami krisis fiskal akibat anggaran negara yang terlalu agresif. Meski reda, tetapi risiko utang Italia masih tinggi karena rasio utang pemerintah yang mencapai 131,8% PDB pada akhir 2017. Sewindu lalu saat terjadi krisis fiskal di Italia, menjadi sentimen negatif di pasar keuangan global. Oleh karena itu, investor cemas risiko yang sama akan kembali terulang.
Sentimen fundamental yang ikut menopang penguatan Dolar AS adalah kesepakatan AS – Kanada. Kedua negara ini akhirnya berhasil menyepakati kerangka baru Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA) yang diberi nama The United States-Mexico-Canada Agreement (USMCA). Rencananya, para pimpinan negara akan menandatangani perjanjian tersebut sebelum akhir November dan setelahnya akan diserahkan ke Kongres.
Salah satu hal yang berhasil disetujui adalah Kanada akan membuka pasar yang lebih luas bagi produk susu (dairy) asal AS. Kanada harus membuka sekitar 3,5% dari pasar dairydomestik yang bernilai total US$ 16 miliar kepada produsen asal Negeri Adidaya.
Sejumlah indikator ekonomi lainnya turut menjadi perhatian pelaku pasar. Angka pengangguran di Jepang periode Agustus diumumkan sebesar 2,4%, lebih rendah dari konsensus yang sebesar 2,5%. Sementara di Korea Selatan, Nikkei Manufacturing PMI periode September diumumkan sebesar 51,3, mengalahkan capaian periode sebelumnya yang sebesar 49,9.
Indeks manufaktur PMI China edisi September 2018 jatuh ke angka 50,8. Level itu merupakan yang terendah dalam 7 bulan terakhir, atau jauh di bawah konsensus Reuters yang memperkirakan 51,2.
Data serupa yang dikeluarkan swasta versi Caixin/Markit (yang berfokus pada perusahaan kecil dan menengah, yang vital bagi penciptaan lapangan kerja China) juga menunjukkan pelemahan ke angka 50 pada September. Juga lebih rendah dari konsensus Reuters yang sebesar 50,5.
Perlambatan indeks manufaktur di Negeri Panda tidak lepas dari pemesanan barang ekspor yang melambat angka 48 pada September, dari sebelumnya 49,4 pada Agustus. Dengan capaian itu, pemesanan barang ekspor sudah terkontraksi selama 4 bulan berturut-turut. Data-data ini semakin mengonfirmasi bahwa perang dagang AS vs China telah mendinginkan perekonomian Negeri Tirai Bambu. (Lukman Hqeem)