Harga emas naik setelah Dolar AS melemah tipis. (Lukman Hqeem)

Esandar Arthamas Berjangka merupakan pialang resmi yang terdaftar di BAPPEBTI. Anggota dari Bursa Berjangka Jakarta dan Kliring Berjangka Indonesia.

ESANDAR, Jakarta – Harga emas turun dalam perdagangan hari Kamis (24/01). Dalam prospek jangka pendek emas masih akan tertekan dengan potensi kenaikan dolar. Investor masih mempertimbangkan dampak Shutdown layanan pemerintah AS dan sengketa perdagangan AS – China.


Sebagian besar analis masih optimis dengan harga emas mampu naik dalam jangka panjang. Sentimen kenaikan akan didapat dari sejumlah masalah prospek perekonomian global, termasuk masa depan perundingan perdagangan AS – China dan ketidakpastian Brexit. Ketidakpastian ini akan menjadi daya tarik pembelian emas oleh Investor.


Harga Emas untuk pengiriman bulan April di bursa Comex, turun $ 4,30, atau 0,3%, ke $ 1,285,90 per troy ons. Indek Dolar AS naik 0,5% ke 96,629. Penguatan dolar menjadi penyebab utama di balik kelemahan dalam perdagangan hari ini.


Greenback bertahan pada kenaikan moderat setelah data yang dilansir pada hari Kamis mengungkapkan bahwa jumlah orang Amerika yang mengajukan tunjangan pengangguran mingguan turun di bawah 200.000 untuk pertama kalinya sejak 1969. Data klaim pengangguran ini menunjukkan bahwa pasar tenaga kerja Amerika tetap cukup kuat meskipun ketidakpastian ekonomi meningkat.


Sayangnya, Shutdown yang berkelanjutan dari pemerintah AS dan risiko bahwa perang perdagangan dengan Cina masih akan berlarut-larut, bisa mendukung harga emas naik kembali. Seperti diketahui bahwa Washington dan Beijing masih belum memberikan sinyal penyelesaian perundingan tariff perdagangan.


Pihak Goldman sendiri masih mempertahankan proyeksi bullish pada harga emas saat ini. Sementara itu, sebagian besar analis memisahkan kondisi jangka pendek untuk emas dari pandangan positif yang sebagian besar tak tergoyahkan untuk 2019.


Dengan keyakinan tersebut, harga logam mulia diperkirakan masih bisa mencapai $ 1.350 pada tahun ini. Emas sebagai aset perlindungan akan menjadi tujuan investasi kala kondisi ekonomi tidak menentu. Kenaikan harga tersebut, bahkan diyakini akan berkelanjutan hingga tahun 2020. Kemudian memudar seiring dengan naiknya kembali ekuitas yang membuat investor melakukan aksi risk appetite.


Risk Aversion, yang dilakukan investor pada saat ini berpijak pada proyeksi bahwa sejumlah ekuitas di bursa S&P 500 berpotensi menjadi sentiment negatif. Indek Saham diperkirakan akan turun setidaknya ke 2.300 di akhir 2019.


Pada perdagangan mata uang, yen Jepang akan menghargai ¥ 105 per dolar pada akhir tahun ini. Sementara imbal hasil obligasi AS bergerak turun, berlawanan dengan harga obligasi, ini juga akan meningkatkan daya tarik emas.


Keyakinan akan kenaikan lebih lanjut juga ditopang dengan kepercayaan bahwa sejumlah bank sentral global akan membeli sekitar 500 metrik ton logam mulia tahun ini. Aksi beli bank-bank sentral tersebit dilakukan untuk mendiversifikasi cadangan devisa dengan Dolar AS. Jumlahnya akan naik dari 373 metrik ton pada dua tahun lalu, dimana Rusia diperkirakan akan terus memimpin aksi pembelian ini. (Lukman Hqeem)