ESANDAR, Jakarta – Harga emas melonjak pada posisi tertinggi dalam 6 minggu ini pada perdagangan Senin (06/11/2017). Kenaikan harga emas ini terdorong naiknya harga minyak mentah. Harga minyak sendiri terangkat naik paska penangkapan sejumlah menteri dan keluarga kerajaan Arab Saudi dalam upaya pemberantasan korupsi.
Harga emas untuk kontrak perdagangan berjangka berakhir naik $12.40, atau 1%, ke harga $1,281.60 per ons. Ini merupakan kenaikan harga terbesar dalam satu hari sejak 25 September. Kenaikan harga emas sekaligus mengikis kerugian yang terjadi setelah harga emas sempat jatuh hingga ke posisi termurah dalam kontrak ini sejak Agustus kemarin. Hingga minggu lalu, harga kontrak emas ini mengalami penurunan 0,2% untuk tiga pekan beruntun.
Harga-harga komoditi masih berayun, dimana harga komoditi minyak mentah mampu naik kembali. Ditengah melemahnya Dolar AS, harga minyak mampu naik . Naiknya harga minyak disisi lain akan menyeret kenaikan inflasi. Sesuatu yang diharapkan oleh The Fed untuk bisa menaikkan suku bunganya.
Dengan peluang seminggu setengah, suku bunga diperkirakan masih akan tetap rendah. Baik Dolar AS dan Emas akan merespon dengan lingkungan yang demikian ini. Komoditi emas memang dianggap sebagai asset pengaman investasi , terlebih dimasa harga mengalami lonjakan kenaikan atau inflasi.
Indek Dolar AS ICE, terkoreksi 0.2% ke level 94.76. Lazimnya, pergerakan Indek Dolar AS dengan harga emas akan berbanding terbalik satu sama lainnya. Kenaikan Indek Dolar AS akan diikuti dengan penurunan harga emas. Dengan demikian, jika Dolar AS menguat, emas akan kehilangan daya pikatnya sebagai tujuan investasi dari investor.
Minggu lalu, sinyalemen menguatnya sektor jasa dan laporan tenaga kerja yang beragam kembali menunjukkan lemahnya tingkat upah sehingga memberikan ruang bagi harga emas untuk bisa naik atas harapan suku bunga masih rendah dalam sebulan kedepan.
Para investor juga kembali menitik beratkan perhatian mereka pada perkembangan terkini rencana pengurangan perpajakan, setelah angota Senat dari Republik mengerjakan kembali rancangan undang-undang versi mereka setelah pihak DPR mengembalikan minggu lalu.
Pada minggu lalu pula, Presiden Donald Trump telah menunjuk Jerome Powell, salah satu anggota Dewan Gubernur Bank Sentral AS untuk menjadi pengganti Janet Yellen. Pimpinan Gubernur Bank Sentral ini akan berakhir masa jabatannya pada Februari nanti. Meski Powell juga merupakan sosok yang dianggap bersikap dovish, mirip dengan sikap pimpinan saat ini, Janet Yellen dimana ia memilih untuk menaikkan suku bunga ketika inflasi telah sesuai dengan targetnya.
Era kebijakan akomodatif The Fed yang ultra lunak mendekati akhir. Dalam beberapa hari kedepan, Janet Yellen akan meletakkan jabatannya. Begitu juga Bill Dudley akan melepaskan posnya. Kedua tokoh ini merupakan sosok yang dianggap paling lunak, ultra dovish diantara anggota Dewan Gubernur Bank Sentral lainnya. Mereka memiliki tujuan, untuk menjaga kebijakan longgar ini berlaku hingga inflasi bisa tumbuh. Sayangnya, hingga kini inflasi masih belum bisa mencapai target yang mereka tetapkan, sebesar 2%.
The Fed kini dijalur menuju normalisasi anggaran, dan sejumlah kenaikan suku bunga. Idealnya empat kali akan dilakukan dalam masa 12 bulan kedepan. Terlebih jika kondisi lapangan kerja AS mendukung, dimana secara dramatis kebijakan stimulus telah dikurangi, defisit meroket dan mungkin membaui inflasi, kondisi dimana baik Yellen dan Dudley telah usahakan untuk bisa dihindari. (Lukman Hqeem)