ESANDAR – Tiga lembaga keuangan global, Goldman Sachs, UBS, dan Citigroup memprediksi harga emas dunia akan menyentuh level US$ 1.600/troy ons seiring dengan potensi melemahnya kurs dolar AS terhadap mata uang utama lain, ditambah dengan momen Pemilu di AS yang akan meningkatkan volatilitas harga emas dunia.
Analis Goldman Sachs, Mikhail Sprogis mengatakan meskipun AS-China sudah mencapai kesepakatan dagang di fase pertama, yang seharusnya menekan harga emas, tetapi nyatanya harga logam mulia ini masih cukup kuat. Dia memperkirakan harga emas ke depannya akan mencapai level US$ 1.600/troy ons. Alasannya, ketika perekonomian global bangkit, maka mata uang utama lain juga akan menguat melawan dolar AS. Mata uang emerging marketdi Asia juga diprediksi menguat melawan greenback.
Harga emas dibanderol dengan dolar AS, ketika mata uang Paman Sam ini melemah maka harga emas akan menjadi lebih murah bagi pemegang mata uang lain sehingga permintaan bisa meningkat. Naiknya permintaan akan mendorong kenaikan harga emas dunia.
UBS Group AG juga memprediksi emas mencapai level yang belum pernah disentuh sejak Mei 2013 itu. UBS melihat Pemilihan Umum (Pemilu) AS pada tahun 2020 bisa memicu volatilitas emas. Selain itu sikap Presiden AS Donald Trump yang sering berubah-ubah juga dapat memicu kenaikan harga emas. “Siapa yang tahu apa yang akan dilakukan Presiden Trump selanjutnya, ia telah mengejutkan kita berulang kali. Kita juga akan melaksanakan Pemilu Presiden, jadi volatilitas di pasar akan tinggi, dan banyak noise” kata analis komoditas UBS, Giovanni Staunovo, sebagaimana dilansir Bloomberg.
Faktor lain yang membuat emas diprediksi akan kembali melesat adalah sikap bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang tidak akan menaikkan suku bunga di tahun depan. Mengutip Bloomberg, Direktur Citigroup Akash Doshi mengatakan peluang The Fed menaikkan suku bunga di tahun depan kecil, pertumbuhan ekonomi global masih akan menurun, inflasi masih lemah dan perang dagang sepertinya masih akan berlangsung.
Oleh karena itu The Fed kemungkinan memangkas suku bunga di tahun depan. Pemangkasan suku bunga tentunya akan berdampak positif bagi emas. Doshi memprediksi harga rata-rata emas dunia berada di level US$ 1.575/troy ons, dan berpotensi ke atas US$ 1.600/troy ons di akhir 2020.
Pada perdagangan Senin tadi malam (16/12/2019, harga emas dunia menguat tipis jelang dibukanya perdagangan sesi Amerika Serikat (AS), padahal Washington dan Beijing sudah mencapai kesepakatan dagang. Pada pukul 20:39 WIB Senin malam, harga emas diperdagangkan di level US$ 1,478,47/troy ons, menguat 0,2% di pasar spor, melansir data Refinitiv.
Seperti diketahui, pada Jumat malam AS dan China mengumumkan telah mencapai kesepakatan dagang fase satu. Presiden AS, Donald Trump juga mengatakan hal yang sama melalui akun Twitternya. “Kami telah menyetujui kesepakatan fase I yang begitu besar dengan China. Mereka sepakat untuk melakukan berbagai perubahan struktural dan pembelian besar-besaran terhadap produk pertanian, energi, dan manufaktur AS. Bea masuk dengan tarif 25% tetap tidak berubah, tetapi sisanya (turun) menjadi 7,5%.
Presiden AS ke-45 ini juga mengatakan bea masuk importasi produk dari China yang seharusnya berlaku pada 15 Desember resmi dibatalkan. “Rencana pengenaan bea masuk baru pada 15 Desember tidak akan terjadi karena pada kenyataannya kami sudah membuat kesepakatan. Kami akan memulai negosiasi untuk fase II sesegera mungkin, tidak menunggu setelah Pemilu 2020. Ini adalah kesepakatan yang luar biasa bagi kita semua. Terima kasih!” cuit Trump dalam utas (thread) di Twitter.
Meski demikian, pelaku pasar masih kurang sreg dengan kesepakatan dagang fase satu. Sebabnya, kesepakatan tersebut belum ada hitam di atas putih alias belum ditandatangani oleh kedua belah pihak, yang artinya belum akan berlaku.
Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer, mengatakan kedua negara berencana untuk memformalisasi kesepakatan dagang tahap satu tersebut pada pekan pertama Januari 2020. Dalam kesepakatan fase satu, Lighthizer menyebutkan China berkomitmen membeli barang dan jasa AS senilai US$ 200 miliar dalam dua tahun ke depan.
China juga akan membeli produk pertanian AS senilai US$ 32 miliar. Selain itu, China juga akan melakukan pembelian produk pertanian senilai US$ 5 miliar di luar angka-angka tersebut. (LH)