ESANDAR, Jakarta – Bagi sebagian besar pelaku pasar, melemahnya Dolar AS. secara terus-menerus telah membingungkan. Sejumlah investor merasakan dampak dari mulai bobot dolar yang kuat hingga tahun ini, Indek Dolar turun 3,5% di tahun ini.
Hal ini menambah kerugian 10% dari tahun lalu. Bahkan minggu lalu saja, uang ini telah turun 1,7%. Setidaknya, ada dua alasan besar dibalik melemahnya Dolar AS saat ini. Pertama, Komposisi para petinggi di Bank Sentral AS. Kedua, Sikap pemerintah AS dan kebijakan Dolar terkait perdagangan. Kedua hal ini dianggap sangat mempengaruhi naik-turunnya dolar AS.
Komposisi Bankir di The Federal Reserve
Kebijakan bank sentral AS, The Fed dianggap sebagai salah satu penggerak terbesar mata uangnya. Kedepan, sepeninggal Janet Yellen sebagai Gubernur Utama Bank Sentral saat ini, pucuk pimpinan akan digantikan oleh Jerome Powell. Kubu hawkish, dalam kompsisi bankir the Fed akan mendominasi. Tak heran meningkatkan ekspektasi kenaikan tiga tingkat suku bunga di tahun 2018 akan terjadi.
Sayangnya, ini juga bertentangan dengan kinerja dolar yang melembut. Tapi mungkin saja rumput tetangga akan lebih hijau di sisi lain lainnya. Pasar sejauh ini mengira bahwa apa yang dilakukan oleh Bank Sentral Eropa dan bank-bank besar lainnya sangat mengganggu rezim baru dalam The Fed.
ECB misalnya, paling tertinggal dari the Fed dalam mengakhiri program pelonggaran kuantitatifnya dan lambat menaikkan suku bunga. Meski demikian, muncul ekspektasi yang hawkish dengan melihat sejumlah data ekonomi yang kuat membuat mata uang bersama ini Nampak lebih menarik. Alhasil, hal ini membuat Dolar AS terlihat lebih lemah.
Sepeninggal Janet Yellen nanti, pasar merasa asing dengan kondisi The Fed. Gubernur Utama The Fed yang baru Jerome Powell mewakili era yang tidak dikenal pasar. Sehingga menimbulkan beragam pertanyaan apakah dia akan menghormati warisan kebijakan normalisasi Yellen.
Disisi lain, berbeda dengan The Fed, posisi Menteri Keuangan AS dipandang pasar lebih blak-blakan. Powell bagi pasar dianggap belum terlalu terang-terangan. Sehingga pasar memilih bersikap hati-hati dalam memperdagangkan Dolar AS. Belum lagi terkait masalah politik, belum ada uji apakah The Fed yang baru ini akan lebih terbuka dengan tekanan politik.
Kebijakan perdagangan dan sikap administrasi terhadap Dolar AS
Pada Selasa malam, Presiden Donald Trump menyampaikan pidato kenegaraan, menandai satu tahun pemerintahannya. Pasar dengan seksama memperhatikan pidato tersebut untuk memproyeksikan kebijakan ekonomi yang akan mereka jalankan.
Paska pidato ini, Dolar AS hanya terangkat tipis, dengan indeks dolar mundur karena pelaku pasar tampak berharap lebih banyak petunjuk tentang kebijakan perdagangan pemerintah dalam pidato tersebut. Namun demikian, kekuatan yang sekarang mendorong dolar melemah adalah struktural dan politis daripada siklis karena pemerintah AS berfokus pada mencoba untuk berjalan dalam ketidakseimbangan eksternal.
Pekan lalu, komentar dari Menteri Keuangan Steven Mnuchin dan Presiden Trump menyebabkan volatilitas dalam dolar. Awalnya Mnuchin mengatakan bahwa dolar yang lebih lemah akan baik untuk perdagangan. Karena Dolar AS memang sudah berayun kebelakang. Hal ini juga menimbulkan pertanyaan publk apakah pemerintah AS telah meninggalkan kebijakan dolar yang kuat. Kebijakan yang telah ada sejak pertengahan 1990an. Presiden Trump kemudian meminta mata uang tersebut menguat seiring dengan ekonomi AS.
Mengenai hal ini, Presiden ECB Mario Draghi berpendapat bawa seorang Mnuchin tidak akan membuat pernyataan yang tidak akan disengaja. Dalam sejarahnya, Menteri Keuangan AS juga bisa membuat kesalahan dalam mengomentari melemahnya Dolar AS. Pada kebanyakan kasus mereka membuat komentar yang tidak menguntungkan sekali tentang melemahnya dolar, yang kemudian diledakkan. Namun demikian, seorang Menteri Keuangan Negara super power, tentu tidak akan mengatakan sesuatu yang tidak diketahuianya, meski kemudian akan menyesali akan perkataannya.
Pemerintahan Trump sangat lantang dalam mengkritik defisit neraca perdagangan A.S. dengan sejumlah negara lainnya, termasuk Indonesia. Disisi lain, Presiden Trump juga menginginkan dolar AS yang kuat selama kampanyenya.
Jadi, semuanya akan lebih mudah dipahami oleh pembuat kebijakan secara global agar menerima pelemahan dolar dalam waktu dekat, meski hal itu akan menghambat beberapa kebijakan proteksionisme yang lebih aktif dari pemerintahan AS saat ini.
Intinya, bagaimanapun juga saat ini sulit untuk menganalisa sejauh mana mata uang ini akan berayun. Dalam negosiasi ulang Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA) antara A.S., Kanada dan Meksiko, misalnya, kemajuan tampaknya telah dilakukan. Hanya selang beberapa minggu setelah pejabat tinggi Kanada berbicara tentang kemungkinan AS. menarik diri dari pakta perdagangan sama sekali.
Memang taruhannya tinggi, tapi ketidakpastian yang berjalan lebih tinggi lagi. (Lukman Hqeem)