ESANDAR, Jakarta – Dolar AS berhasil menguat diakhir pekan, Jumat (14/06/2019). indek dolar AS akhirnya ditutup dengan menguat 1,07% ke 97,555.
Para investor melakukan aksi lindung nilai dengan membagi aset investasinya. Dolar AS juga mendapat sentiment penguatan yang berasal dari meredanya kekhawatiran akan dampak perang dagang. Namun investor masih khawatir terhadap potensi gejolak perdagangan dan geopolitik yang bersumber dari krisis di Timur Tengah saat ini.
Pelaku pasar memilih berhati-hati menjelang rapat kebijakan bank sentral Australia, Jepang, dan Inggris yang juga digelar pada pekan ini.
Disisi lain, tekanan domestic dari Inggris misalnya, ikut mengangkat Dolar AS dan menimbulkan koreksi tajam pada Poundsterling. Inggris kini tengah mencari sosol Perdana Menteri baru pengganti Theresa May. Boris Johnson menjadi kandidat favorit, namun ini berarti potensi soft Brexit masih suram karena kandidat termasuk tokoh pro Brexit.
Johnson, tokoh yang mendukung kampanye Brexit resmi dalam referendum 2016, memenangkan jauh jumlah suara terbesar di putaran pertama kontes kepemimpinan partai Konservatif. Dia dikenal sebagai tokoh yang menentang keras kerjasama dengan Uni Eropa yang telah diajukan oleh Theresa May. Sehingga menimbulkan kekhawatiran terjadinya Brexit tanpa kesepakatan.
Pasar taruhan memberi Johnson peluang 70% untuk menang. Pasar juga khawatir tentang betapa sedikit waktu yang diambil siapa pun untuk mencoba menegosiasikan kembali perjanjian penarikan May dengan Brussels. Uni Eropa mengatakan kesepakatan itu tidak untuk negosiasi ulang sebelum Inggris dijadwalkan keluar pada 31 Oktober.
Euro juga terpelanting setelah data penjualan ritel AS menunjukkan bahwa pengeluaran masyarakat AS pada bulan Mei mengalami kenaikan. Dua data pada bulan sebelumnya juga direvisi lebih tinggi. Hal ini semakin mempertegas bahwa belanja konsumen cukup sehat untuk membatasi kasus pemotongan suku bunga Federal Reserve dalam waktu dekat.
Aussie sendiri merosot setelah data ekonomi China mengecewakan. China merupakan sebagai mitra dagang terbesar bagi komoditas Australia. Pertumbuhan output industri Cina mengalami perlambatan ke level terendahnya dalam 17 tahun terakhir, dengan mencatat pertumbuhan lebih dari 5% di bulan Mei. Angka ini jauh di bawah ekspektasi sehingga memberikan tanda terbaru dari melemahnya permintaan di negara ekonomi terbesar kedua dunia tersebut, di tengah tekanan perdagangan yang datang dari AS.
Laju investasi tetap juga tumbuh kurang dari yang diharapkan, yang memperkuat harapan bahwa pemerintahan Beijing perlu segera meluncurkan langkah-langkah yang dapat meningkatkan pertumbuhannya. Dalam survei yang dilakukan oleh Reuters, para analis memperkirakan laju output industri Cina akan tumbuh hingga 5.5% dari periode yang sama di tahun sebelumnya, yang mana angka perkiraan ini hanya sedikit diatas kenaikan 5.4% yang tercatat pada bulan April sebelumnya.
Yen melemah terhadap dollar setelah sempat menguat diawal perdagangan seiring meningkatnya ketegangan politik di Timur Tengah. Melemahnya data ekonomi China juga mendapat dukungan bagi safe-haven. Namun dollar kembali menguat setelah data penjualan retail AS meningkat dibulan Mei, sehingga sedikit meredam pemangkasan suku bunga Fed dalam waktu dekat. (Lukman Hqeem)