ESANDAR, Jakarta – Perang dagang yang dilontarkan AS, sejatinya bermula dari upaya Donald Trump memenuhi janji kampanye politik saat pilpres, memajukan perekonomian AS dengan meninjau sejumlah kerja sama ekonomi sebelumnya. Pemerintahan Donald Trump kemudian mengumumkan kenaikan tariff impor baja dan almunium.
Baik Eropa dan Cina sama-sama merupakan mitra dagang utama AS. Keduanya sama-sama disinggung oleh Trump dengan menyebut telah melakukan perdagangan yang tidak sepadan. Kebijakan tariff baja dan almunium tersebut memang memukul Eropa lebih besar dibandingkan kepada Cina. Mengingat Cina lebih sedikit mengekspor baja ke AS dibandingkan Eropa.
Sayangnya, Donald Trump tidak berhenti sampai disitu. Kepada Cina, Trump secara khusus meminta pembantunya untuk menyusun sejumlah komoditi yang bisa dikenakan tariff masuk. Sejumlah barang kemudian dikenakan tariff oleh Washington. Beijing tidak tinggal diam, selang beberapa waktu kemudian menyampaikan sejumlah komoditi AS mulai dari produk pertanian hingga pesawat terbang dikenakan tariff khusus. Tindakan balasan Cina ini dibalas kembali dengan AS, yang dalam minggu ini dikabarkan akan mengumumkan sejumlah komoditi lainnya senilai tariff masuk $100 milyar lagi. Cina kembali mewanti-wanti bahwa mereka akan membalas dengan segala cara dan pengorbanan apapun atas perlakuan AS ini.
Menurut lembaga keuangan JPMorgan, jika pertumbuhan ekonomi Cina mengalami pukulan akibat dari Perang Dagang dengan AS ini, maka dampaknya hanya akan dirasakan oleh mereka di tahun ini saja. Dalam paparannya, Haibin Zhu selaku kepala ekonom JPMorgan di Cina, mengatakan bahwa harus ada negosiasi secara ekstensif oleh kedua negara raksasa ekonomi tersebut untuk menghilangkan friksi yang terjadi akibat perang tarif yang mengancam perdagangan produk mereka masing-masing.
Zhu lebih lanjut menambahkan bahwa mereka mengharapkan adanya negosiasi secara bertahap, dan bukan perang dagang dalam skala besar. Akan tetapi mereka juga tidak mengharapkan bahwa perselisihan dagang diantara keduanya akan selesai dalam waktu yang relatif cepat.
Ia juga mencatat bahwa ada beberapa isu-isu non tarif yang harus dihadapi oleh kedua negara tersebut, seperti kebijakan perlindungan kekayaan intelektual dan transfer teknologi antara kedua negara. Jika mengacu kepada laporan GDP kuartal pertama, maka masih didapat berita positif mengenai momentum pertumbuhan ekonomi Cina yang masih cukup meyakinkan, seiring kegiatan ekonomi domestik yang masih berada di jalur kecepatan pertumbuhan yang sangat kuat.
Seperti diketahui bahwa pada Selasa kemarin, pemerintah Cina merilis laporan pertumbuhan ekonomi mereka sebesar 6.8% di kuartal pertama tahun ini, yang lebih besar dari ekspektasi semula sebesar 6.7%.
Disisi lain, Eropa yang sama-sama menjadi target perang dagang AS ini, akan mengalami nasib yang berbeda. Para pejabat Bank Sentral Eropa mengingatkan dalam pertemuan kebijakan dibulan Maret bahwa perang dagang dan penguatan euro berisiko merusak pemulihan ekonomi zona euro.
Dalam peringatan ini, ECB menitik beratkan upaya persiapan menghentikan stimulus moneternya yang besar. Risalah pertemuan kebijakan ECB pada 7-8 Maret kemarin, diumumkan pada hari Kamis, menunjukkan bank sentral nomor dua di dunia akan bergerak hanya secara bertahap untuk menghapuskan program pembelian obligasi 30 miliar euro ($ 37.1 miliar) per bulan dan mulai menaikkan suku bunga .
Para pejabat ECB mengatakan ada beberapa risiko terhadap ekonomi global yang dapat merugikan blok mata uang yang berfokus ekspor, termasuk peningkatan proteksionisme perdagangan dan penarikan AS dari Uni Eropa.
Para pejabat juga khawatir tentang peningkatan volatilitas di pasar keuangan dan apresiasi euro baru-baru ini. Seorang pejabat mengatakan kekuatan euro baru-baru ini lebih terkait dengan kebijakan dan komunikasi bank sentral daripada perbaikan dalam ekonomi zona euro, tanda bahwa perkembangan mungkin membebani inflasi zona euro yang sudah lemah.
Kerusakan dari setiap perang perdagangan akan tergantung pada skala tarif dan langkah-langkah pembalasan, tetapi itu juga dapat membahayakan ekonomi dengan menenggelamkan kepercayaan investor, kata risalah tersebut. (Lukman Hqeem)