ESANDAR, Jakarta – Sebuah perang perdagangan siap membayang-bayangi pasar keuangan saat ini. Klaim Presiden Donald Trump bahwa keseimbangan perdagangan global perlu dipugar kembali dari AS menjadi kode keras bahwa perang dagang tak terelakkan.
Ahli strategi dari Société Générale, Albert Edwards menyoroti setidaknya ada dua faktor yang membuat Donald Trump akan melipat gandakan kebijakan proteksionismenya. Pertama, penyelidikan A.S. terhadap pencurian kekayaan intelektual Cina dan kedua masalah surplus perdagangan yang berkembang di zona euro.
Ketakutan akan perang dagang bergeser ke depan setelah keputusan Trump pada bulan Maret untuk menampar bea impor logam. Investor segera menyadari bahwa keluhan presiden atas defisit perdagangan A.S. tidak begitu mengejutkan dan bahwa dia bermaksud memenuhi janji politiknya.
Dengan Penasehat Perdagangan dan Industri seperti Peter Navarro, yang memimpin kebijakan perdagangan yang lebih hawkish, Trump mengorbankan pendukung pro-perdagangan bebas seperti Gary Cohn. Hanya sedikit suara yang bisa melunakkan protogonis Trump.
“Presiden Trump adalah politisi yang paling tidak biasa. Suka atau tidak suka, dia melakukan sesuatu yang jarang dilakukan politisi lainnya yaitu, berusaha memenuhi janji politiknya, “kata Edwards. Pertama, sebuah perang dagang dapat berawal dari keluhan bahwa Beijing telah membangun kebijakan industrinya dengan tujuan pencurian kekayaan intelektual. Ini sebuah keluhan yang kadang-kadang serasa dibuat-buat oleh Gedung Putih, kata Edwards.
Pada bulan Agustus, Trump memberi kuasa kepada Perwakilan Dagang A.S. untuk menyelidiki klaim bahwa Cina telah memaksa perusahaan Amerika untuk bergabung dengan perusahaan lokal sebagai imbalan atas akses ke pasar domestiknya. Kebijakan ini seringkali melibatkan pengalihan pengetahuan perusahaan dan rahasia perusahaan A.S. “Ini kemungkinan akan menjadi isu yang jauh lebih eksplosif bagi Cina daripada tarif baru pada baja dan aluminium,” tambah Edwards.
Setelah Edwards menerbitkan catatannya, Gedung Putih berencana untuk mengenakan tarif barang senilai $ 30 miliar per tahun untuk melawan Cina, dan tindakan penghukuman lainnya terhadap China, termasuk batasan visa untuk ilmuwan Cina, dan membatasi investasi Cina ke perusahaan AS, The Wall Street Journal melaporkan.
Satu hal pasti adalah surplus perdagangan berkembang yang diserang oleh zona euro adalah Jerman. Trump memang telah mengkritisi defisit perdagangan A.S. dengan Cina, namun Eropa juga telah menarik kemarahan presiden A.S. ini. Menurutnya, Jerman telah melaksanakan kebijakan perdagangan “yang sangat buruk” ungkapnya sebelum bulan September silam.
Bukan hanya Trump yang mengkritik kebijakan perdagangan ekonomi terbesar di Eropa. Pemerintah Eropa lainnya telah menuduh Jerman menekan konsumsi sendiri sambil meneruskan kebijakan peningkatan ekspor untuk memperburuk ketidakseimbangan ekonomi internal di zona euro.
“Yang pasti, negara lain memiliki surplus lebih besar sebagai [persentase] GDP, seperti Swiss, Belanda dan Singapura, namun negara-negara ini relatif kecil. Surplus Jerman sekarang, dalam dolar, terbesar di dunia, “kata Edwards.
Surplus akun berjalan Jerman adalah $ 287 miliar pada 2017, menurut Ifo Institute. Sementara, keseluruhan surplus zona euro telah meningkat menjadi 4% dari output ekonomi tahunannya, menurut tabel berikut. Rekening giro biasanya mengacu pada keseimbangan antara ekspor dan impor negara, dengan penjualan positif bersih ke mitra dagang menghasilkan surplus.
Selain soal tarif baru-baru ini mengenai impor baja dan aluminium, Albert Edwards mengkhawatirkan tindakan pembalasan oleh mitra dagang AS. Indikasi kekhawatiran ini telah mendorong imbal hasil Obligasi AS naik dan mengguncang pasar saham. Pada akhirnya hal ini akan menganggu lingkungan investasi yang baik dari inflasi yang berhasil diredam dan pertumbuhan yang solid. (Lukman Hqeem)