Harga minyak berjangka AS turun karena The Fed isyaratkan belum akan menurunkan suku bunga dalam waktu dekat ini. Potensi penguatan Dolar AS bersama dengan kenaikan pasokan membuat harga minyak dalam tekanan pada perdagangan di hari Rabu (28/02/2024).
Minyak mentah berjangka Brent ditutup 3 sen lebih tinggi, atau naik 0,04% menjadi $83,68 per barel. West Texas Intermediate futures (WTI) AS ditutup 33 sen lebih rendah, atau turun 0,42% pada $78,54. Kedua jenis minyak tersebut telah turun $1 pada perdagangan sebelumnya.
Sebagaimana dilaporkan bahwa persediaan minyak mentah AS naik 4,2 juta barel pada pekan lalu, menurut Badan Informasi Energi (EIA), melampaui ekspektasi para analis sebesar 2,74 juta barel. Stok telah meningkat selama lima minggu berturut-turut karena penghentian kilang yang tidak direncanakan menyusul badai musim dingin di bulan Januari, serta rencana perbaikan pabrik.
Tingkat pemanfaatan kilang di AS naik tipis 0,9 poin persentase pada minggu lalu menjadi 81,5% dari total kapasitas, namun berada di bawah rata-rata musiman 10 tahun. Kilang-kilang telah beroperasi di bawah tingkat pemanfaatan 83% selama sebulan terakhir, yang merupakan rekor terpanjang dalam hampir tiga tahun.
Para pengilang minyak masih banyak yang absen, dan tidak melakukan upaya nyata untuk segera keluar dari penutupan yang terjadi setelah cuaca dingin. Diyakini bahwa kedepan pasokan akan mengalami penurunan besar. Pemadaman yang sedang berlangsung di kilang Whiting milik BP yang berkapasitas 435.000 barel per hari di Indiana, pabrik terbesar di Midwest, juga telah mengurangi tingkat stok bahan bakar.
Menurut data EIA disebutkan bahwa stok bensin pada gilirannya turun selama empat minggu berturut-turut ke level terendah dalam dua bulan di 244,2 juta barel dan sekitar 2% di bawah rata-rata lima tahun untuk sepanjang tahun ini. Jika tren ini berlanjut selama enam hingga delapan minggu ke depan, sehingga bisa melihat persediaan bensin semakin menipis seiring memasuki musim mengemudi.
Laporan lain pada hari Selasa menyatakan bahwa Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutunya yang dipimpin oleh Rusia (OPEC+) akan mempertimbangkan untuk memperpanjang pengurangan produksi minyak secara sukarela hingga kuartal kedua kemungkinan memberikan dasar bagi penurunan harga.
Disisi lain, konflik di Timur Tengah mungkin memberikan dukungan, setelah Hamas menyerukan warga Palestina untuk berbaris ke Masjid Al-Aqsa di Yerusalem pada awal Ramadhan, meningkatkan pertaruhan dalam negosiasi gencatan senjata yang sedang berlangsung di Gaza, sebagaimana yang diharapkan oleh Presiden AS Joe Biden akan terjadi pada saat itu. Namun, tanda-tanda bahwa suku bunga di negara dengan perekonomian terbesar di dunia akan tetap tinggi mengimbangi potensi kenaikan.
Presiden Federal Reserve Bank of New York John Williams mengatakan bahwa, meskipun tekanan inflasi telah surut ke tingkat yang signifikan, dia belum siap untuk mengatakan bahwa bank sentral telah melakukan semua yang perlu dilakukan untuk mengembalikan inflasi ke target The Fed sebesar 2%.
Komentar Williams sejalan dengan sinyal Gubernur Fed Michelle Bowman pada hari Selasa – bahwa dia tidak terburu-buru menurunkan suku bunga AS, mengingat risiko inflasi yang berkelanjutan. Suku bunga yang lebih tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan menekan permintaan minyak.
Para pelaku pasar minyak akan mencari arah yang lebih jelas dari indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi (PCE) AS bulan Januari yang dirilis pada hari Kamis, yang merupakan ukuran inflasi pilihan The Fed dan merupakan faktor kunci dalam keputusan suku bunga. Jika angka PCE AS dilaporkan di atas ekspektasi, harga minyak mungkin akan mencapai puncak sementara.