Risalah FOMC yang bernada hawkish, mendorong bursa saham ke area merah. (Lukman Hqeem/ foto : istimewa).

Esandar Arthamas Berjangka merupakan pialang resmi yang terdaftar di BAPPEBTI. Anggota dari Bursa Berjangka Jakarta dan Kliring Berjangka Indonesia.

ESANDAR, Jakarta – Bursa saham Amerika Serikat berakhir di zona merah dalam perdagangan hari Kamis (17/10). Tiga indek bursa saham utama ditutup beragam dalam rentang terbatas. Indek Dow Jones melemah 0,36%, Indek S&P 500 minus 0,02%, dan Indek Nasdaq menguat tipis 0,03%.


Jatuhnya bursa saham sebagaimana diperkirakan, banyak tersandung oleh terbitan risalah pertemuan regular Komisi Pasar Bebas Federal (FOMC) bulan September. Risalah tersebut bernada hawkish sebagaimana diperkirakan. Hal ini memperjelas langkah The Federal Reserve akan terus menaikkan suku bunga secara bertahap.


Para pengambil kebijakan dalam FOMC mayoritas menilai bahwa kenaikan suku bunga secara bertahap akan berjalan secara konsisten. Seiring dengan laju pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, pasar tenaga kerja yang solid, dan risiko percepatan laju inflasi.


Dalam risalah tersebut disebutkan bahwa pendekatan secara bertahap (dalam menaikkan suku bunga) akan menyeimbangkan risiko akibat pengetatan moneter yang terlalu cepat yang bisa menyebabkan perlambatan ekonomi dan inflasi di bawah target Komite. Namun bila (kenaikan suku bunga acuan) dilakukan terlalu lambat, maka akan menyebabkan inflasi bergerak di atas target dan menyebabkan ketidakseimbangan di sistem keuangan, demikian salah satu tajuk utama risalah itu.


Kompaknya para anggota FOMC membuat pelaku pasar semakin yakin bahwa The Fed akan kembali menaikkan suku bunga pada Desember. Pelaku pasar sendiri yakin bahwa suku bunga acuan akan dinaikkan 25 bps pada pertemuan 19 Desember. Tingkat keyakinan ini bahkan mencapai 81,4%, naik dari sebelumnya 78,5%.


Saat ini suku bunga acuan AS berada di median 2,125%. FOMC menargetkan suku bunga akan naik menjadi median 3,1% pada akhir 2019 dan 3,4 pada akhir 2020. Dalam jangka panjang, suku bunga baru berangsur turun ke arah 3%.


Bank Sentral AS sendiri bergeming meski mendapat banyak kritik termasuk dari Presiden Donald Trump. Bukan hanya sekali Trump menyerang keputusan The Fed yang dianggapnya terlalu agresif dalam menaikkan suku bunga. “Saya membayar bunga tinggi karena The Fed, Saya ingin The Fed tidak terlalu agresif karena menurut saya mereka melakukan kesalahan besar. The Fed sudah “gila” dan tidak ada alasan mereka melakukan itu, saya tidak senang,” tegas Trump beberapa waktu lalu, mengutip Reuters.


The Fed memang sudah menaikkan suku bunga sejak 2015, dan sejak kenaikan bulan lalu mereka sudah lagi menggunakan kata ‘akomodatif’. Hampir seluruh seluruh anggota FOMC sepakat untuk menghilangkan kata tersebut. Artinya suku bunga acuan memang sudah tidak lagi menjadi alat untuk merangsang pertumbuhan ekonomi. The Fed tetap dan masih akan hawkish setidaknya sampai 2020. Tren kenaikan suku bunga di Negeri Paman Sam tidak bisa dihindari lagi, ucapkan selamat tinggal kepada era suku bunga rendah.


Saham bukanlah instrumen yang bekerja optimal di lingkungan suku bunga tinggi, karena menggambarkan situasi yang konservatif dan penuh kehati-hatian. Saham adalah instrumen yang mengandalkan keberanian dan aksi ambil risiko. Selain itu, kenaikan suku bunga akan membuat biaya dan beban emiten yang tercatat di bursa saham meningkat.

Lonjakan biaya dan beban tentu akan menggerus laba, sehingga membebani harga saham. Akibatnya, bursa saham New York cenderung merah saat minutes of meeting tersebut dirilis. Sebaliknya, The Fed yang kian hawkish mengantarkan yield obligasi negara AS dan greenback melambung tinggi. (Lukman Hqeem)