ESANDAR, Jakarta – Babak baru perang dagang bergulir setelah Jepang memutuskan untuk membuat sejumlah pembatasan pada impor barang dari Korea Selatan. Kini Seoul meminta agar Tokyo menarik pembatasan ekspornya dan mencela tindakan tersebut sebagai pembalasan ekonomi.
Menteri Keuangan Korea Selatan, Hong Nam-ki pada hari Kamis (04/07/2019) mendesak Jepang untuk menarik pembatasan ekspornya. Lebih jauh dikatakan olehnya bahwa Korea Selatan akan memutuskan kapan akan mengajukan keluhan dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mengenai keputusan Jepang segera setelah peninjauan internal selesai.
“Kami percaya bahwa langkah Jepang adalah tindakan pembalasan ekonomi yang jelas,” kata Hong dalam sebuah wawancara radio. Dia mengatakan pembatasan ekspor Jepang tidak hanya merugikan Seoul tetapi juga Tokyo.
Jepang mengumumkan awal pekan ini bahwa mereka akan memperketat peraturan ekspor ke Korea Selatan bahan-bahan berteknologi tinggi, termasuk fluorine polyimide, yang penting untuk produksi semikonduktor dan panel display. Aturan baru mencakup tiga jenis bahan, termasuk fluor polimida yang digunakan untuk membuat tampilan OLED yang fleksibel, serta menahan dan mengetsa gas yang dibutuhkan dalam proses pembuatan semikonduktor.
Langkah Jepang untuk membatasi ekspor bahan teknologi adalah skema rumit untuk menekan industri utama Korea Selatan di tengah pertikaian diplomatik bilateral, tetapi riak-riak itu dapat menyebar ke kedua belah pihak jika langkah-langkah tersebut diterapkan secara luas dan bertahan untuk waktu yang lama, pengamat industri mengatakan Selasa.
Kebijakan Jepang ini, tampaknya sebagai tanggapan atas putusan Mahkamah Agung Korea Selatan mengenai kompensasi untuk kerja paksa di masa perang. Perselisihan terbaru bermula dari putusan Mahkamah Agung Korea Selatan tahun lalu yang memerintahkan perusahaan-perusahaan Jepang untuk memberi kompensasi kepada para korban kerja paksa Korea Selatan selama penjajahan Jepang di Semenanjung Korea tahun 1910-1945.
Tetapi Jepang mengecam keputusan tersebut, mengklaim bahwa semua masalah reparasi yang berasal dari pemerintahan kolonialnya diselesaikan berdasarkan perjanjian pemerintah-ke-pemerintah 1965 yang menormalkan hubungan bilateral. (Lukman Hqeem)