ESANDAR, Jakarta – Harga Emas berjangka melemah pada perdagangan awal minggu ini, Senin (08/10). Tidak tanggung-tanggung bahkan hingga ke level terendahnya dalam lebih dari seminggu. Sentimen pendorong jatuhnya harga adalah kenaikan imbal hasil Obligasi AS yang tetap tinggi dan menguatnya dolar AS kembali.
Logam mulia sebagai aset tidak berbunga seperti Obligasi dan lawan dari Dolar AS, semakin tak berdaya bila dua sentiment ini berpadu. Campuran dua sentiment ini terbukti ampuh, membawa Emas dalam koreksi yang panjang. Harga emas untuk kontrak pengiriman bulan Desember turun $ 17, atau 1,4%, untuk menetap di $ 1,188.60 per ounce. Ini merupakan penutupan terendahnya sejak 27 September. Meskipun aksi harga yang bergejolak selama sesi terakhir, penguatan hari Jumat sudah cukup untuk menyerahkan logam sekitar 0,8% naik dari pekan lalu. Dalam masa yang dekat, setidaknya harga emas masih akan tertahan di level resisten $1.215.
Indeks dolar AS naik 0,1% menjadi 95,762 atau sekitar 0,6% dari minggu lalu dan tetap hampir 4% lebih tinggi sepanjang tahun ini. Penguatan Dolar ini memberikan kontribusi penurunan harga logam mulia sekitar 9% di atas rentang yang sama. Sementara bunga Obligasi tenor 10 tahun sebesar hampir 3,23%, menguat tajam minggu lalu mendekati posisi tertinggi. Tekanan dari pasar obligasi AS tertahan dengan tutupnya perdagangan di hari Senin untuk liburan Hari Columbus.
Logam mulia, biasanya digunakan sebagai tempat singgah oleh investor. Sayangnya aset ini tidak menawarkan imbal hasil sebagaimana Obligasi. Komoditas ini rentan terhadap kemerosotan di lingkungan dengan tingkat kenaikan. Iklim itu juga cenderung mengangkat dolar, di mana emas terutama dihargai. Federal Reserve telah meningkatkan suku bunga tiga kali pada tahun 2018 dan diperkirakan akan menaikkan suku bunga acuan untuk keempat kalinya pada bulan Desember, pergerakan yang dapat mendorong bunga obligasi naik lebih tinggi dan melemahkan selera untuk logam kuning.
Pun demikian, reaksi negatif emas terhadap imbal hasil yang lebih tinggi dari aset ini bisa mencapai titik kritis pula.Beberapa analis mencatat, bahwa akhirnya dengan bunga yang tinggi dapat menenggelamkan saham sehingga kondisi yang mengkhawatirkan ini akan kembali menghidupkan minat pada aset lindung nilai, yaitu emas.
Jelasnya, Dolar memang memainkan peran kunci dengan korelasi negatif. Namun, dengan bunga obligasi terus melonjak lebih tinggi, ada faktor ketakutan pasar tambahan yang berarti bahwa emas mendapat tingkat penawaran safe haven juga. Ini mungkin membantu membatasi aksi jual emas.
Kondisi ini semakin pelik, melihat jatuhnya bursa saham di Wall Street pada perdagangan terakhir, tak lepas dari rontoknya sejumlah bursa global akibat kebijakan moneter China. Bank Sentral China memutuskan untuk turunkan setoran Giro Wajib Minimum sebesar 100 basis poin.
Kebijakan ini diperkirakan menambah likuiditas perbankan sebesar CNY 750 miliar dan ketika berputar di sistem perekonomian nilainya bertambah menjadi CNY 1,2 triliun. Likuiditas yuan yang membanjir membuat mata uang ini melemah dan memuluskan jalan bagi dolar AS menguat pula.
Investor juga mengamati perkembangan di Eropa, dimana Uni Eropa mengirimkan surat kepada menteri ekonomi Italia, Giovanni Tria, bahwa target anggaran Italia menjadi sumber keprihatinan. Bentrokan antara Italia dan Uni Eropa berpotensi mengganggu pasar. Kondisi yang dapat meningkatkan popularitas emas sebagai aset pelindung.
Secara teknis, dengan mampu bertahan sejauh ini diatas harga $1.180, emas menyimpan daya tahan untuk bisa naik kembali. Sebagian pelaku pasar meyakini harga logam mulia mengalami konsolidasi dan bersiap untuk menguat kembali. Ada harapan, harga logam mulia bisa kembali diatas $1.200 dan pada kwartal ke empat tahun ini bisa di $1.350 per troy ons. (Lukman Hqeem)