ESANDAR, Jakarta – Dolar AS tetap di bawah tekanan selama sesi perdagangan di hari Rabu (23/01). Investor kembali berpaling dari aset safe haven, seperti Dolar AS ketika sejumlah emiten bursa saham memberikan laporan keuangan dan prospek laba yang baik di 2019.
Sejumlah saham unggulan sebagian besar menguat dimana Indek S&P 500 bergerak naik dan mengambil kembali sebagian besar penurunan di hari sebelumnya. Meskipun lewat tengah hari, aksi ambil untung membuat sejumlah saham menyerah hingga kemudian indek bergerak datar dan turun kembali.
Indek Dolar AS lebih lemah, merosot 0,2% menjadi 96,127, menambah kerugian sehari sebelumnya. Hal ini dimanfaatkan oleh pesaing utamanya, euro dalam perdagangan EURUSD, yang mampu naik dan berakhir di $ 1,1384, atau naik dari $ 1,1362.
Dolar Australia dalam perdagangan AUDUSD, juga naik dengan kenaikan indek saham ini. Saat investor melakukan risk appetite untuk aset yang dianggap berisiko, mempertahankan beberapa pemulihan dari penurunan di hari Rabu, dan kembali menelusuri jalan kenaikan ke puncak sebelumnya.
Yen Jepang melemah terhadap dolar AS pada hari Rabu. Menjelang pembukaan pasar Asia pada Kamis (24/01), Bank of Japan akan mengumumkan kebijakan moneternya. Investor berharap BoJ mampu mempertahankan kontrol kurva hasil dan rencana pembelian asetnya.
Dasar pertimbangannya adalah sebagaimana rekan-rekan bank sentral lainnya, BOJ tentu melihat adanya banyak penurunan dalam perekonomian. Pun demikian, bank sentral dapat menaikkan perkiraan PDB mereka dan memangkas laju inflasi sepanjang 2020- 2021.
Tentu saja ini akan membuat BoJ mundur dari target laju inflasi mereka sebesar 2%. BOJ bisa jadi memang kehabisan pilihan untuk mengalahkan inflasi dan mungkin harapan akan bergantung pada stabilitas harga minyak mentah dunia. Satu dolar terakhir dibeli ¥ 109,60, naik dari ¥ 109,37 Selasa malam di New York.
Poundsterling Inggris dalam perdagangan GBPUSD, tengah bersaing untuk menduduki puncak mahkota sebagai pemain mata uang utama terbaik. Pound berusaha menembus ambang batas $ 1,30 untuk pertama kalinya sejak November. Kini Sterling terakhir diambil $ 1,3064, naik dari $ 1,2955.
Terkait dengan rencana keluarnya Inggris dari Uni Eropa, Brexit – kemacetan dalam proses usulan perjanjian Inggris dan Uni Eropa di Parlemen berlanjut. Dijadwalkan pada minggu depan akan dilakukan lagi pemungutan suara atas kesepakatan alternatif yang akan disodorkan oleh Perdana Menteri Theresa May. Muncul ekspektasi dari pelaku pasar bahwa terkait pelepasan ini, pelepasan Brexit bisa tertunda.
Sebagaimana diatur dalam pasal 50 dalam perjanjian sebelumnya yang memungkinkan pihak Inggris meninggalkan Uni Eropa dalam waktu dua tahun setelah referendum. Pun demikian, risiko tidak menyurut dari kemungkinanm terjadinya no-deal Brexit yang terus meningkat.
Menyikapi kemungkinan mundurnya kesepakatan ini, Mantan Menteri Keuangan Jerman, George Osborne mengatakan kepada BBC bahwa ia yakin penundaan Brexit kemungkinan besar terjadi, sementara Menteri Perdagangan Amerika Serikat Liam Fox mengatakan bahwa penundaan Brexit akan menjadi hal yang lebih buruk daripada tidak membuat kesepakatan.
Sehari sebelumnya, pasar keuangan terguncang oleh data ekonomi dari Tiongkok yang menunjukkan aktivitas ekonomi yang melambat pada tahun 2018 ke level terendah dalam masa hampir tiga puluh tahun. Disisi lain, tersiar kabar bahwa para pejabat AS membatalkan pertemuan perundingan perdagangan dengan China, meski penasihat ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow membantah isu ini.
Pelaku pasar mendapat kabar bahwa Presiden Donald Trump tidak akan menandatangani perjanjian dengan Beijing kecuali jika ada perubahan substantif yang disetujui, termasuk masalah hak kekayaan intelektual, menurut Reuters. (Lukman Hqeem)