ESANDAR, Jakarta – Ketidakpastian atas kebijakan perdagangan dapat menjadi pendorong utama pasar saham AS saat ini jatuh lebih dalam. Resiko nyata yang dihadapi ekuitas bisa juga berasal dari sikap The Federal Reserve, dengan potensi penurunan yang jauh lebih besar daripada investor saat ini antisipasi.
Pada minggu lalu, Gubernur Utama Bank Sentral AS, Jerome Powell mengatakan prospek ekonomi telah menguat, tetapi dia melukis gambaran beragam tentang kebijakan apa yang mungkin terlihat seperti maju. Bank Sentral AS memang akhirnya menaikkan suku bunga sebagaimana diperkirakan, namun mengindikasikan bahwa mereka akan melakukan total tiga kenaikan suku bunga pada 2018. Hal ini dilihat sebagai sinyal dovish mengingat sejumlah investor memperkirakan empat tahun ini. Meredam kekhawatiran pasar, Fed mengutarakan jalur kenaikan suku bunga pada 2019 – 2020.
Disinilah masalahnya, fokus pasar selama ini melihat The Fed dengan komposisi anggota FOMC terkini akan lebih bersikap Hawkish. Alasan pergantian Janet Yellen kepada Jerome Powell, dilihat pasar sebagai upaya merubah nada kebijakan The Fed agar lebih garang. Nyatanya, dengan indikasi tersebut bisa meningkatkan risiko bank sentral membuat kesalahan kebijakan.
Barry Bannister, Kepala Strategis Stifel, dalam kajiannya menemukan apa yang menjadi kekhawatiran tersebut. Menurutnya, investor membutuhkan sedikit lebih banyak acrophobia, karena model terbaik kami mengarah ke pasar beruang dan kehilangan dekade untuk saham. Bannister berpendapat komposisi Fed baru, di bawah Powell, diharapkan secara teratur menaikkan suku bunga selama beberapa tahun mendatang, dan beberapa investor berpikir mungkin mempercepat laju kenaikan suku bunga jika inflasi kembali ke pasar dengan cara yang lebih nyata. Dalam kajiannya, Barry menilai apa yang diucapkan oleh Powell sebagai bentuk ketakutan Fed yang dapat menjadi sebuah kesalahan.
Pasar bisa dikatakan dalam tren bearish, biasanya didefinisikan sebagai penurunan 20% dari posisi puncak pasar. Saat ini, Indek S&P 500 misalnya, telah terkoreksi sebesar 9,3% di bawah rekor hit tinggi awal tahun ini, sementara Indek Dow Jones turun 10,4% dan Indek Nasdaq turun 9%.
Baik Dow Jones dan S&P 500 berada di wilayah koreksi, yang berarti mereka telah turun 10% dari puncak dan belum pulih. Hal yang patut diingat, koreksi Dow Jones adalah salah satu penurunan tercepat sepanjang sejarah.
Pekan lalu, indek saham utama mengalami penurunan terbesar dalam satu minggu dalam dua tahun terakhir ini. Jatuhnya pasar tertekan oleh ketidakpastian kebijakan perdagangan. Itu jenis volatilitas besar-besaran yang bisa terus berlanjut ke minggu ini, meskipun fluktuasi dalam saham teknologi kapitalisasi besar telah menjadi penyumbang terbesar pada ayunan gerak harga saham.
Pergerakan ini terjadi pada saat investor sangat terpapar dengan pasar ekuitas. Bahkan TD Ameritrade baru-baru ini melaporkan bahwa klien ritel mereka menutup catatan 2017 dengan rekor tingkat eksposur pasar, sementara saldo kas untuk klien Charles Schwab berada di rekor terendah pada bulan Desember, menurut Morgan Stanley. Sementara itu, indeks alokasi saham AAII berada di atas 70%, mendekati level tertingginya sejak tahun 2000.
Semua statistik ini merupakan peringatan yang tidak menyenangkan bagi Bannister, yang menulis bahwa ada korelasi terbalik antara kepemilikan saham ritel dan pengembalian total S&P 500 selama 10 tahun mendatang. Korelasi terbalik berarti bahwa ketika kepemilikan saham meningkat, S&P 500 kembali jatuh, dan sebaliknya.
Tingkat kepemilikan yang tinggi “menunjukkan pengembalian total 0%” antara tahun 2017 dan 2028, demikian penjelasan Barry. Ia menambahkan, “Setelah gelembung bank sentral dalam beberapa tahun terakhir, model sekarang menunjukkan penurunan 20% yang cepat ke depan.”