ESANDAR, Jakarta – Dalam sebuah wawancara di hari Minggu (09/12), Kepala Ekonom Dana Moneter Internasional (IMF) Maurice Obstfeld mengatakan bahwa warga Amerika Serikat (AS) tahun depan akan mulai merasakan dampak dari perlambatan ekonomi dunia. Meski demikian, AS tidak akan mengalami resesi baru.
“Kami telah lama memperkirakan pertumbuhan (AS) yang lebih rendah di 2019 dibandingkan apa yang kita lihat tahun ini,” karena dampak stimulus fiskal dan anggaran pemerintahan Presiden Donald Trump yang mulai menghilang, ujarnya. “Perlambatan itu akan menjadi lebih dalam lagi kemungkinan di 2020 dibandingkan di 2019, menurut data yang kami cermati,” kata Obstfeld, dilansir dari AFP, Senin.
IMF sebelumnya telah merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan 2019 untuk ASmenjadi 2,5% dari 2,8% tahun ini. Untuk seluruh dunia, sepertinya terjadi suatu keadaan di mana “udara keluar dari sebuah balon”, tambah Obstfeld yang merujuk pada kinerja pertumbuhan ekonomi kuartal ketiga di Asia dan Eropa yang lebih lemah dari perkiraan. “Itu akan kembali dan juga berdampak kepada AS,” ujarnya.
Ia kembali menyayangkan ketegangan perdagangan, antara tidak hanya AS dan China tapi juga antara AS dan negara-negara lainnya termasuk di Eropa, yang mengancam pertumbuhan ekonomi global. Namun, ia menepis kemungkinan bahwa dunia akan mengalami kondisi Great Depression baru sebagaimana yang terjadi di 1930an ketika perdagangan global benar-benar hancur akibat halangan perdagangan.
“Saya memandang ketegangan saat ini mungkin bersifat merusak karena ada banyak investasi dan produksi global yang terkait perdagangan,” ungkapnya. “Namun, (hal itu) tidak menyebabkan kehancuran sebagaimana yang kita lihat di 1930an.”
Harus diakui bahwa ada kekhawatiran perekonomian AS diambang resesi akibat perlambatan ekonominya. Diawali pada 4 Desember lalu ketika terjadi inversi atau pembalikan imbal hasil obligasi AS tenor tiga dan lima tahun. Imbal hasil obligasi bertenor lima tahun seharusnya lebih tinggi dibandingkan tiga tahun karena investor ingin imbal hasil yang lebih tinggi karena memenag surat utang itu dalam periode yang lebih panjang.
Namun, hari itu imbal hasil terbalik yang mengindikasikan bahwa pelaku pasar memperkirakan akan terjadi risiko ekonomi yang lebih besar dalam jangka pendek. Pada akhir perdagangan hari itu, spread imbal hasil obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun adalah sebesar 2 basis poin (bps).
Sebagai catatan, dalam tiga resesi terakhir yang terjadi di AS (1990, 2001, dan 2007), selalu terjadi inversi pada spread yield obligasi tenor tiga dan lima tahun rata-rata 26,3 bulan sebelum resesi dimulai, dilansir dari CNBC International yang mengutip Bespoke. Selain itu, dalam tiga resesi terakhir yang terjadi di AS, selalu terjadi inversi pada spread yield obligasi tenor tiga bulan dan 10 tahun rata-rata 89 hari setelah inversi pertama pada obligasi tenor tiga dan lima tahun.
Masalahnya, spread yield obligasi tenor tiga bulan dan 10 tahun terus saja menipis, walaupun angkanya masih positif (inversi belum terjadi). Per awal bulan lalu, nilainya adalah sebesar 82 basis poin (bps). Per akhir perdagangan hari Jumat (7/12/2018), nilainya tersisa 45 bps saja. Hal ini membuat cemas pasar.
Pada perdagangan akhir pekan lalu, Wall Street kembali anjlok karena kekhawatiran terkait resesi ini yang ditambah dengan makin tak pastinya nasib kesepakatan dagang AS-China. Indek Dow Jones turun 2,24%, indek S&P 500 melemah 2,33%, dan indek Nasdaq terkoreksi 3,05%. Sepanjang pekan lalu, tiga indeks utama Wall Street itu amblas. Dow Jones anjlok 4,5%, indeks S&P 500 ambruk 4,6%, dan Nasdaq terpangkas 4,93%. Koreksi yang begitu dalam membuat Dow Jones dan S&P 500 kini membukukan imbal hasil negatif secara sepanjang tahun ini. (Lukman Hqeem)