ESANDAR, Jakarta – Harga minyak menguat tipis ditengah baying-bayang tekanan jual menjelang permintaan puncak akhir musim dingin di belahan bumi utara. Naiknya harga minyak dipicu pelemahan Dolar AS yang terus meluas dan rencana pemotongan pasokan minyak oleh OPEC.
Sebagaimana dikatakan oleh Menteri Energi Arab Saudi Khalid al-Falih serta Menteri Energi Rusia Alexander Novak, bahwa OPEC dan Rusia masih belum memikirkan untuk segera mengakhiri komitmen pembatasan produksi minyak 1,8 juta bph akan diakhiri pada Desember 2018 ini. Al-Falih dan Novak berharap bahwa setelah akhir Desember 2018, pihak OPEC sebaiknya terus bekerja sama dengan Rusia dan 11 negara produsen minyak lainnya untuk tetap menjaga pasokan minyak dengan stabil.
Al-Falih dan Novak juga menyatakan bahwa keseimbangan pasokan minyak masih jauh dari harapan yang diinginkan, sehingga dirinya memperkirakan setidaknya keseimbangan tersebut bisa dilihat setelah 2019 nanti. Artinya butuh waktu yang panjang komitmen pembatasan produksi minyak tersebut baru dikatakan berhasil mengatasi masalah kelebihan pasokan.
Disisi lain, banyak penyulingan di AS yang ditutup sepanjang musim dingin untuk melakukan perawatan, telah menurunkan jumlah pasokan minyak olahan
Pada perdagangan hari ini, harga minyak mentah diperkirakan akan mengalami koreksi. Sinyal koreksi sejak perdagangan kemarin telah terlihat, dimana harga minyak tergelincir turun dari harga $ 66.64 pbl hingga ke $ 64.90 pbl. Harga minyak mentah WTI kemudian berakhir turun 1,0% di $ 65.20 per barel. Sedangkan minyak jenis Brent kontrak Januari di pasar ICE Futures London sementara sedang menguat $0,28 atau 0,40% di harga $70,81 per barel.
Penguatan harga minyak juga didukung oleh melemahnya dolar AS pasca ucapan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin bahwa pelemahan dolar AS akan membantu kinerja perdagangan AS. Dolar AS hingga siang ini masih tertekan sehingga harga Brent tadi pagi sempat menembus level $71 per barel.
Hasil perdagangan semalam juga telah mempersempit jarak harga atau spread antara minyak Brent dengan WTI menjadi sekitar $4 per barel dari sebelumnya yang sempat membuat jarak keduanya sekitar $7 per barel. Sempitnya spread tersebut akan memberi peluang bahwa produksi minyak AS bisa menurun di kemudian hari karena harga minyak Brent terlihat lebih murah di mana konsumen global sebetulnya lebih memilih Brent karena kualitasnya lebih bagus.
Harga $65 merupakan titik krusial, menjadi level resisten harga minyak sebelum kenaikan selanjutnya dilakukan. IMF dalam pertemuan di Forum Ekonomi Dunia di Davos Swiss menyatakan bahwa proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2018 dan 2019 mengalami kenaikan 0,2% menjadi 3,9% berkat adanya dorongan pemotongan pajak AS akhir tahun lalu. Naiknya pertumbuhan global ini tentu membuat kebutuhan alias permintaan terhadap energi atau minyak akan naik karena produktivitas akan mengalami peningkatan pula. (Lukman Hqeem)