ESANDAR, Jakarta – Bursa saham utama Eropa melonjak pada pembukaan perdagangan Senin (3/12/2018) setelah China dan Amerika Serikat (AS) melakukan gencatan perang dagang.
Saat transaksi awal, indeks FTSE 100 London melonjak 1,5% menjadi 7.087,36 poin. Di zona euro, indeks DAX 30 di Frankfurt melonjak hampir 2,5% menjadi 11.534,75 poin dan Paris CAC 40 naik 2,2% menjadi 5.112,58.
Presiden AS Donald Trump dan presiden China Xi Jinping dalam pertemuan di G20 pada Sabtu setuju untuk menangguhkan bea masuk baru dalam perang dagang antara dua ekonomi terbesar di dunia. Selagi menunggu pembicaraan untuk menyelesaikan perbedaan mereka.
Penasihat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow menyatakan bahwa ada kemungkinan Washington dan Beijing akan mencapai kesepakatan yang signifikan kala Presiden AS Donald Trump bertemu Presiden China Xi Jinping di sela-sela KTT G-20 akhir pekan lalu.
“Ada kemungkinan yang cukup besar kami akan mencapai kesepakatan. Beliau (Trump) terbuka untuk itu,” kata Kudlow, mengutip Reuters.
Pernyataan Kudlow seakan diapresiasi oleh kubu China. Presiden Xi menyatakan bahwa China siap untuk lebih membuka diri terhadap perekonomian global, sesuatu yang selama ini menjadi tuntutan Trump.
“China akan terus berupaya untuk membuka diri, bahkan lebih dari apa yang dilakukan sekarang. China akan membuka akses kepada pasar, investasi, dan perlindungan terhadap kekayaan intelektual,” tegas Xi di depan parlemen Negeri Tirai Bambu, dikutip dari Reuters.
Risk appetite investor pun semakin membuncah kala The Federal Reserve/The Fed dinilai mulai melunak alias dovish. Diawali dengan pernyataan Jerome ‘Jay’ Powell, Gubernur The Fed, yang mengatakan suku bunga acuan sudah mendekati posisi netral, yang artinya tidak lagi bisa digunakan untuk meredam atau mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Aura dovish kebijakan moneter AS kemudian kembali dikonfirmasi oleh risalah The Fed edisi November 2018. Para peserta rapat semakin menekankan pentingnya berkaca kepada data dalam pengambilan keputusan.
“Para peserta menyiratkan bahwa sepertinya dalam rapat-rapat ke depan perlu ada perubahan bahasa penyampaian, di mana ada kalimat yang menyatakan pentingnya evaluasi terhadap berbagai data dalam menentukan arah kebijakan. Perubahan ini akan membantu memandu Komite dalam situasi perekonomian yang dinamis,” tulis risalah tersebut.
Situasi ini tentu tidak mengenakkan buat dolar AS. Maklum, penguatan greenback selama ini ditopang oleh agresivitas The Fed dalam menaikkan suku bunga acuan. Arus modal pun pergi meninggalkan mata uang Negeri Paman Sam.