ESANDAR, Jakarta – Pada perdagangan akhir pekan minggu kemarin, harga minyak dunia naik kembali sebagai bentuk aksi beli kembali pasca dolar AS melemah setelah beberapa data AS kurang bagus.
Beberapa data ekonomi AS seperti data PDB mengalami penurunan di akhir tahun kuartal lalu sehingga pergerakan dolar AS mengalami pelemahannya. Dengan melemahnya dolar AS maka pembelian minyak yang sebagian besar menggunakan alat tukar dolar AS, akan terlihat lebih murah daripada ketika dolar AS menguat.
Sebelumnya harga minyak menguat berkat laporan mingguan EIA bahwa persediaan minyak mentah AS turun untuk 10 minggu berturut-turut sebesar 1,071 juta barel. Namun EIA juga menyebut bahwa produksi minyak AS juga mengalami kenaikan 128 ribu bph menjadi total 9,878 juta bph, mendekati rekor tertinggi produksi minyak serpih dalam sejarah AS pada tahun 1970 sebesar 10,04 juta bph.
Hal ini membuat harga minyak WTI ditutup melemah $0,63 atau 0,96% di level $66,16 per barel. Untuk perdagangan mingguan, minyak WTI mengalami kenaikan sebesar 4,5%. Sedangkan Minyak Brent ditutup melemah $0,10 atau 0,14% di harga $70,52 per barel. Untuk perdagangan mingguan, minyak Brent mengalami kenaikan sebesar 2,8%.
Produksi minyak AS tersebut sungguh mengkhawatirkan banyak pihak termasuk Arab Saudi dan Rusia di mana produksi AS makin mendekati produksi minyak kedua negara tersebut. Hal ini terbukti dengan laporan Baker Hughes yang mengaktifkan kembali 12 lokasi pengeboran minyak sehingga total menjadi 752 rig yang aktif kembali.
Hasil perdagangan beberapa hari ini juga telah mempersempit jarak harga atau spread antara minyak Brent dengan WTI menjadi sekitar $4 per barel dari sebelumnya yang sempat membuat jarak keduanya sekitar $7 per barel. Sempitnya spread tersebut akan memberi peluang bahwa produksi minyak AS bisa menurun di kemudian hari karena harga minyak Brent terlihat lebih murah di mana konsumen global sebetulnya lebih memilih Brent karena kualitasnya lebih bagus.
Harga minyak yang masih tinggi sebetulnya juga di bantu oleh pernyataan dari Menteri Energi Arab Saudi Khalid al-Falih serta Menteri Energi Rusia Alexander Novak, bahwa OPEC dan Rusia masih belum memikirkan untuk segera mengakhiri komitmen pembatasan produksi minyak 1,8 juta bph akan diakhiri pada Desember 2018 ini. Al-Falih dan Novak berharap bahwa setelah akhir Desember 2018, pihak OPEC sebaiknya terus bekerja sama dengan Rusia dan 11 negara produsen minyak lainnya untuk tetap menjaga pasokan minyak dengan stabil.
Al-Falih dan Novak juga menyatakan bahwa keseimbangan pasokan minyak masih jauh dari harapan yang diinginkan, sehingga dirinya memperkirakan setidaknya keseimbangan tersebut bisa dilihat setelah 2019 nanti. Artinya butuh waktu yang panjang komitmen pembatasan produksi minyak tersebut baru dikatakan berhasil mengatasi masalah kelebihan pasokan. (Lukman Hqeem)