ESANDAR, Jakarta – Tekanan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa (25/6/19) mulai mereda setelah merosot dalam empat hari beruntun. Bahkan data yang menunjukkan penurunan tingkat keyakinan konsumen AS tidak banyak direspon.
Diawal perdagangan New York, indeks dolar berada di kisaran 95,99 atau tidak jauh dari penutupan Senin di level 95,98, mengutip data dari Refinitiv. Indeks ini sering digunakan untuk mengukur kekuatan dolar AS terhadap mata uang lainnya.
Data yang dirilis Conference Board Inc. menunjukkan tingkat keyakinan konsumen di AS menurun, dengan angka indeks menjadi 121,5 di bulan ini, dari bulan Mei 134,1. Data ini sebenarnya memberikan dampak negatif bagi dolar, tetapi penurunan tajam dalam empat hari juga membuat investor melakukan aksi wait and see jelang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 28 – 29 Juni nanti di Tokyo Jepang.
Pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dengan Presiden China Xi Jinping akan menjadi sorotan utama di KTT G-20.
Bagaimana keberlanjutan perang dagang antara kedua negara bisa jadi akan terlihat dari pertemuan dua pemimpin tersebut. Perang dagang merupakan faktor utama pemicu pelambatan ekonomi global, termasuk di Negeri Paman Sam, yang membuat Bank Sentral AS (Federal Reserve/The Fed) membuka peluang pemangkasan suku bunga acuannya (Federal Funds Rate/FFR).
Berakhirnya perang dagang AS – China tentunya akan disambut baik semua pihak, perekonomian global bisa berakselerasi, dan The Fed kemungkinan akan mengambil sikap “menanti data-data ekonomi selanjutnya” sebelum menentukan apakah akan memangkas suku bunga atau tidak. Hal tersebut bisa membuat dolar AS bangkit.
Namun sebaliknya, jika pertemuan Trump – Xi justru buntu, dan perang dagang terus berlanjut, spekulasi pemangkasan suku bunga The Fed akan semakin menguat dan dolar kemungkinan akan jeblok lagi.
Berdasarkan data dari perangkat FedWatch milik CME Group, The Fed diprediksi akan memangkas FFR sebanyak tiga kali di tahun ini yakni pada 31 Juli ( atau pada 1 Agustus waktu Indonesia), September, dan terakhir di bulan Desember.
Saat ini, data dari FedWatch bahkan menunjukkan di bulan April 2020 probabilitas FFR 1,25% – 1,50% menjadi yang tertinggi, yakni 31,5%. Ini berarti pelaku pasar melihat The Fed akan memangkas suku bunga empat kali masing-masing 25 basis poin dari level saat ini 2,25% – 2,50%.
Dalam dua perdagangan terakhir Yen Jepang belum banyak beranjak dari level terkuat hampir enam bulan terakhir melawan dolar AS. Yen diperdagangkan di kisaran 107,34/US$ atau melemah tipis 0,05% dibandingkan penutupan perdagangan Senin (24/6/19). Pada Jumat lalu, yen mencapai level 107,20/US$ atau menjadi yang terkuat semenjak flash crash 3 Januari lalu.
Sikap dovish Bank Sentral AS membuat performa dolar jeblok, dan membawa yen menguat. Saat mengumumkan kebijakan moneter pada Kamis (20/6/19) dini hari, The Fed membuka peluang pemangkasan suku bunga acuannya (Federal Funds Rate/FFR).
Dolar terus berhasil ditekan oleh yen meski Bank Sentral Jepang (Bank of Japan/BOJ) juga bersikap dovish beberapa jam setelah The Fed. Bank sentral pimpinan Haruhiko Kuroda tersebut mengatakan akan menggelontorkan stimulus moneter, baik dengan penambahan jumlah pembelian aset maupun penurunan suku bunga, jika perekonomian Jepang memburuk. Namun, dovish BOJ bukan hal yang baru, dalam beberapa bulan terakhir hal tersebut sudah terlihat sehingga bukan merupakan kejutan bagi pelaku pasar.
Penguatan yen kini justru memberikan masalah baru bagi BOJ. Ekspor merupakan tumpuan ekonomi Jepang, penguatan nilai mata uangnya tentunya akan berdampak buruk bagi ekspor. Semakin kuat nilai tukar yen, maka harga produk Jepang akan menjadi lebih mahal, dan permintaan bisa menurun.
Jika yen terus menguat, bukan tidak mungkin BOJ akan segera menggelontorkan stimulus moneter, bahkan lebih cepat dari The Fed. BOJ akan mengumumkan kebijakan moneter pada 30 Juli nanti, sementara The Fed pada 1 Agustus dini hari waktu Indonesia.