ESANDAR – Perang dagang yang belum terlihat akan berkesudahan dalam waktu dekat, menjadi sumber gangguan perekonomian global dan tentu saja ekonomi China sebagai pelaku utama. Namun Beijing nampak menahan diri untuk melepaskan stimulus ekonomi dalam kebijakan moneternya. China memilih untuk menjaga cadangan devisa jika terjadi kebuntuan perundingan dengan AS.
Sebagaimana dikatakan oleh The Peoples Bank of China pada Jumat (09/08) yang menyerukan pandangan “rasional” di tengah kondisi yang rentan saat ini. Sikap ini menandakan bahwa pendekatan yang ditargetkan untuk menopang produksi akan terus berlanjut. Sejumlah data ekonomi yang akan dirilis Beijing pada pekan depan seperti data investasi, penjualan ritel, dan kredit akan mengonfirmasi pelambatan ekonomi yang berlangsung.
Pemerintah China masih tetap memilih berhati-hati dalam strategi moneter meski ketegangan dengan AS memburuk. Pada saat yang sama, pelemahan yuan melampaui level 7 per dollar AS menghilangkan satu penghalang untuk memangkas suku bunga acuan jika perang dagang memburuk ke titik di mana aksi yang kuat sangat dibutuhkan.
Mantan pimpinan bank sentral China berkumpul dalam sebuah simposium kebijakan di Yichun, Heilongjiang dan mengingatkan bahwa konfrontasi dengan AS kian dalam. Pemberian label manipulator mata uang oleh AS menggarisbawahi bahwa perang dagang telah menjelma menjadi perang finansial dan perang mata uang. Chen Yuan, mantan Deputi Gubernur Bank Sentral China menyatakan bahwa pemerintah China harus bersiap untuk konflik jangka panjang. Sementara itu, mantan Gubernur PBOC Zhou Xiaochuan mengimbau untuk dilakukannya upaya memperbaiki peran yuan dalam perekonomian global sehingga dapat menghadapi tantangan dalam sistem finansial yang didominasi oleh dollar.
Dana Moneter Internasional (IMF) mengatakan dalam laporan tahunannya mengenai perekonomian China, jika AS kembali meningkatkan ancaman pajak impornya dari 10% menjadi 25%, pertumbuhan China akan terpangkas sebesar 0,8%, dan bisa berdampak signifikan terhadap perekonomian global. Hal ini akan menambah tantangan pada perekonomian China dalam jangka panjang. Menurut IMF, China kemungkinan harus melakukan kebijakan yang agresif, meski harus menghadapi risiko peningkatan utang domestik dan menggelembungnya harga aset.
Mengutip data yang dirilis Institute of International Finance pada bulan lalu, China tengah berupaya untuk mendongkrak pertumbuhan meski utang perusahaan, rumah tangga dan pemerintah mengalami kenaikan melampaui 300% dari Produk Domestik Bruto (PDB). (Lukman Hqeem)