ESANDAR, Jakarta – Bursa saham Amerika Serikat (AS) harus berakhir pekan diarea merah. Pada penutupan perdagangan hari Jumat (05/10) waktu setempat indek bursa saham AS ditutup negatif. Sejumlah sentimen domestik cukup kuat mempengaruhi pergerakan pasar.
Ada kekhawatiran pada pelaku pasar bahwa kenaikan suku bunga yang dilakukan The Federal Reserve beberapa waktu lalu, membayangi penguatan pasar tenaga kerja. Sebagaimana diketahui ada kenaikan lapangan kerja di AS selama bulan September, ini semakin meyakinkan publik akan kondisi ekonomi Paman Sam yang terus membaik.
Indeks bursa saham mengalami turbulensi selama seminggi tersebut. Imbal hasil Obligasi AS naik ke level tertinggi sejak 2011, memaksa penilaian ulang luas aset yang dianggap berisiko, termasuk saham. Indek Dow Jones akhirnya harus berakhir turun 68% merosot 180,43 poin, atau 0,7%, menjadi 26.447,05. Indeks S & P 500 turun 16,04 poin, atau 0,6%, menjadi 2,885.57. Indek Nasdaq turun 91,06 poin, atau 1,2%, menjadi 7,788.45. Ketiganya sempat diperdagangkan naik pada awal sesi, tetapi tidak bisa mempertahankan kenaikan tersebut disisa perdagangan akhir pekan.
Dalam catatan mingguan, indek S & P 500 turun 1%, mencatat kinerja mingguan yang menurun untuk kedua kalinya secara berturut-turut. Indek Nasdaq turun 3,2% dan Indek Dow Jones sebagian besar bergerak datar-datar saja.
Ada penurunan yang tajam pada indek Dow Jones disesi perdagangan hari Kamis minggu lalu. Indek saham unggulan ini mengalami persentase penurunan satu hari terbesar sejak Agustus, sementara S & P dan Nasdaq mencatat penurunan harian terbesar sejak akhir Juni.
Indikator ekonomi AS melaporkan angka pekerjaan bulan September naik 134.000 pekerjaan, di bawah perkiraan sebesar 168.000. Badai Florensia terlihat memiliki pengaruh terhadap kemungkinan penciptaan lapangan kerja. Sementara dalam laporan itu juga menunjukkan tingkat pengangguran AS turun menjadi 3,7%. Selain itu, upah rata-rata per jam yang dibayar untuk pekerja Amerika naik 0,3% per jam, sementara tingkat upah upah per bulan 12-bulan datang di 2,8%.
Data upah ini menjadi minat khusus karena apa yang dapat dikomunikasikan tentang inflasi dalam perekonomian AS. Hasil panen terus meningkat pada hari Jumat, dimana imbal hasil obligasi tenor 10-tahun AS menghasilkan 2,4 basis poin, naik menjadi 3,22%. Padahal Sebulan yang lalu, imbal hasilnya masih sekitar 2,88%. Kenaikan imbal hasil obligasi mencerminkan persepsi yang berkembang bahwa ekonomi terus menjadi kuat, yang mendorong investor untuk membuang obligasi. Itu mendorong hasil lebih tinggi, karena imbal hasil obligasi dan harga bergerak terbalik satu sama lain.
Sementara ekonomi yang kuat menciptakan lingkungan yang baik untuk investasi saham, sayangnya imbal hasil obligasi yang lebih tinggi juga dapat mengurangi antusiasme terhadap saham. Pasalnya, aset ini menawarkan pengembalian yang lebih tinggi bagi investor, khususnya mereka yang mencari pendapatan tanpa risiko atau volatilitas yang biasanya terkait dengan ekuitas. Percepatan inflasi juga bisa berarti bahwa Federal Reserve mungkin harus lebih agresif dalam menaikkan suku bunga, yang akan dilihat sebagai angin sakal lain untuk harga saham dan komoditi emas.
Bagi pasar, kenaikan upah bisa menimbulkan kekhawatiran pula. Hal ini akan mendorong penguatan Dolar AS dan bisa membebani harga saham. Ditengah optismisme akan peluang kenaikan indek saham lebih lanjut, perlu diwaspadai menyikapi volatilitas pasar dalam jangka pendek. Pasar berpeluang melakukan pergerakan defensive dalam periode ini.
Sementara dalam perdagangan di bursa saham Asia umumnya jatuh pada minggu lalu. Melemahnya saham-saham disektor teknologi menyeret turun indeks utama. Dibursa saham Eropa juga menurun, memperpanjang kelemahan baru-baru ini. (Lukman Hqeem)