ESANDAR, Jakarta – Para eksekutif Bank of Japan akan bertemu di minggu. Pertemuan ini guna membahas factor-faktor yang menghambat kenaikan inflasi. Sebagaimana diketahui, pertumbuhan inflasi Jepang sangat lambat dan mengecewakan. Hal ini telah memaksa mereka untuk memangkas perkiraan inflasi per kwartal di bulan Juli nanti.
Bank of Japan (BoJ) tidak diharapkan mengubah pengaturan kebijakan dalam waktu dekat. Terlihat peran teknologi dan inovasi yang bermain dalam menjaga pertumbuhan inflasi tetap rendah setelah inflasi yang mengejutkan lemah memupus harapan bahwa rekor laba bisa mendorong perusahaan ke dalam peningkatan harga pada awal tahun fiskal ini di bulan April. Alhasil sejumlah perusahaan di Jepang cenderung mengubah harga barang dan jasa mereka di tahun fiskal baru.
Lemahnya pertumbuhan inflasi Jepang juga memaksa BOJ untuk pembicaraan terkait pengurangan program stimulus, bahkan ketika rekan-rekan AS dan Eropa telah memutar kembali kebijakan moneternya sebagaimana sebelum krisis. Ketika inflasi sangat lemah, sulit untuk memberi sinyal bahkan prospek keluarnya masa depan dari kebijakan mudah. BOJ diharapkan bisa menjaga kebijakan moneternya dan mempertahankan pandangannya bahwa ekonomi di jalur ekspansi moderat.
Sementara Gubernur Bank Sentral Jepang, yakin pertumbuhan akan pulih pada kuartal pertama. Saat ini, mereka sedang mencari tentang apa yang dapat menahan laju kenaikan harga ini. Faktor-faktor itu kemungkinan tidak akan terungkap sampai dipaparkan dalam pertemuan berikutnya dibulan Juli. Meski demikian, terdapat satu gagasan yang muncul untuk menyalahkan inflasi tetap lemah kepada upaya perusahaan untuk meningkatkan produktivitas.
Alih-alih menaikkan upah untuk memenuhi kekurangan tenaga kerja atau meneruskan kenaikan biaya kepada konsumen, tetapi perusahaan melakukan perampingan operasi untuk memenuhi kebutuhan. Penggunaan belanja online yang lebih luas juga memberikan kesempatan kepada konsumen untuk membandingkan harga secara lebih luas, yang dapat memberi tekanan terhadap inflasi.
Faktor-faktor itu untuk ekonomi jangka panjang, bisa membebani pertumbuhan harga selama bertahun-tahun. Tak heran untuk mengejar target inflasi 2 % BOJ telah menjadi sulit. Sebagaimana pernyataan Makoto Sakurai, salah satu eksekutif BoO pada bulan lalu, bahwa banyak perusahaan melakukan pengeluaran modal untuk merampingkan operasi dan meninjau bisnis yang tidak efisien. Sayangnya, peningkatan kapasitas output perusahaan dapat menunda kenaikan upah dan inflasi dalam jangka pendek, tambahnya. Makoto menegaskan bahwa hal ini kemungkinan tidak akan menjadi hambatan permanen.
Ekonomi Jepang menikmati ekspansi terlama sejak ekonomi gelembung tahun 1980-an hingga menyusut menjadi 0.6 persen tahunan pada kuartal pertama. Banyak analis memperkirakan pertumbuhan akan pulih dari patch lunak yang mereka salahkan pada cuaca buruk yang tidak biasa.
Meski demikian, para eksekutif BOJ lebih prihatin tentang inflasi yang masih rendah dibanding kontraksi baru-baru ini. Indek harga konsumen inti naik 0.7 % pada April dari tahun sebelumnya, melambat untuk bulan kedua berturut-turut. Indikator berlaku secara regional Tokyo, sementara untuk nasional, mencapai 0.5 % pada bulan Mei. Ini menjadi tanda ekonomi Jepang kehilangan momentum menaikkan harga.
Dengan data yang suram, beberapa kebijakan BOJ berusaha untuk menguatkan pemotongan lebih lanjut dalam perkiraan harganya pada tinjauan kuartalan berikutnya pada bulan Juli. Dalam perkiraan yang dirilis pada bulan April, BOJ mengharapkan inflasi konsumen inti untuk mencapai 1.3 % pada tahun yang berakhir pada Maret 2019, dan mempercepat hingga 1.8 % pada tahun berikutnya. Jajak pendapat Reuters memperkirakan kenaikan harga 0.9 % untuk kedua tahun.
Lemahnya kenaikan harga ini memang mengejutkan, terutama untuk barang non-energi. Hal ini menunjukkan perusahaan sangat enggan menaikkan harga, setelah kenaikan harga sebelumnya yang membuat takut konsumen. Hanya masalah waktu sebelum BOJ memangkas perkiraan harganya lagi. Mungkin akan dilakukan pada bulan Juli atau menunggu hingga Oktober’. (Lukman Hqeem)