Ekonomi Amerika Serikat menunjukkan kondisi yang semakin solid dan menjanjikan.(Lukman Hqeem)

Esandar Arthamas Berjangka merupakan pialang resmi yang terdaftar di BAPPEBTI. Anggota dari Bursa Berjangka Jakarta dan Kliring Berjangka Indonesia.

ESANDAR – Resesi menjadi ketakutan tersendiri bagi perekonomian di sejumlah negara di dunia. Tak terkecuali bagi Amerika Serikat (AS) itu sendiri. Pasalnya, terjadi inversi pada imbal hasil obligasi AS tenor 2 tahun dengan tenor 10 tahun. Inversi merupakan keadaan di mana yield atau imbal hasil obligasi tenor pendek lebih tinggi daripada tenor panjang. Biasanya ini merupakan sinyal akan datangnya resesi.

Namun survei terbaru Asosiasi Nasional untuk Ekonom Bisnis (NABE) mengatakan resesi tidak akan terjadi sekarang. AS akan diserang resesi di tahun 2020 atau 2021. Dari ekonom yang diambil pendapatnya, sebagian besar mengakui sikap dovish Bank Sentral Amerika The Federal Reserve (The Fed) membuat resesi belum akan terjadi 2019. Stimulus diberikan lembaga yang dipimpin Jerome Powell antara lain dengan penurunan suku bunga. Hanya 2% dari 226 responden yang memproyeksikan resesi terjadi di 2019. Ini berbeda sekali dengan hasil survei NABE sebelumnya, dimana ada 10% ekonom memprediksi resesi di tahun ini.

“Kajian ini menunjukkan bahwa peningkatan (risiko resesi) akan tertunda karena perubahan kebijakan moneter,” kata Presiden NABE Constance Hunter sebagaimana dikutip dari AFP, Senin (19/8/2019).

The Fed memang memangkas suku bunga 31 Juli lalu. Ini menandakan sinyal kuat bahwa The Fed akan menghentikan kenaikan suku karena berbagai kekhawatiran termasuk perang dagang AS dengan China, mulai mempengaruhi ekonomi. Namun begitu, Hunter menyebut para ekonom masih memperdebatkan apakah resesi akan berlangsung pada 2020 atau 2021. Dalam ringkasan surveinya, Hunter menyebut ada 38 ekonom yang mengatakan resesi akan terjadi tahun depan dan 34% yang mengatakan resesi akan terjadi pada 2021.

Selain itu, dalam laporan disebutkan ada sebanyak 46% ekonom memproyeksikan The Fed akan memangkas suku bunga sebanyak satu kali lagi tahun ini. Sementara sekitar 1/3 ekonom mengatakan pemotongan suku bunga tidak akan terjadi lagi atau tetap di 2,5% sebagai ujung tertinggi proyeksi kebijakan.

Para ekonom juga menyatakan ragu hubungan dagang AS-China akan membaik. Meski, dalam laporan itu, ada sebanyak 64% ekonom yang percaya kesepakatan dagang akan dicapai segera. Namun, hasil itu diambil sebelum Trump mengancam untuk menerapkan tarif 10% untuk US$ 300 miliar barang China yang belum dikenai tarif. Awalnya tarif baru akan berlaku pada 1 September tapi baru-baru ini ditunda hingga 15 Desember.

Sebelumnya, Trump menyalahkan The Fed atas keadaan yang menimpa AS seiring sinyal resesi semakin meningkat. Namun, sebanyak 55% ekonom yang disurvei NABE mengatakan kritik pedas Trump tidak akan mempengaruhi keputusan The Fed, malah mengancam indenpendensi bank sentral itu.

Lebih lanjut, ekonom malah menuding kebijakan pemotongan pajak Trump memiliki dampak negatif secara keseluruhan misalnya pada aktivitas di sektor perumahan selama 18 bulan terakhir. Ini terjadi karena adanya perubahan dalam jumlah pengurangan yang diizinkan untuk bunga hipotek.

Beberapa hari sebelumnya, Janet Yellen, mantan Gubernur Bank Sentral AS menegaskan Amerika Serikat tidak sedang menuju resesi. Ia bahkan menyatakan pasar mungkin salah menilai inversi yield obligasi AS sebagai indikator resesi.

“Secara historis, itu merupakan sinyal resesi yang cukup bagus dan saya pikir saat itulah pasar memperhatikannya. Tetapi saya benar-benar merasa bahwa pada kesempatan ini mungkin itu, sinyal yang kurang benar,” kata Yellen sebagaimana dikutip CNBC International dari Fox Business Network, Kamis (15/8/2019). “Alasan untuk itu adalah adanya sejumlah faktor selain ekspektasi pasar tentang pergerakan suku bunga di masa depan yang menekan imbal hasil (yields) jangka panjang,”.

Sebelumnya, inversi terjadi pada yield obligasi pemerintah AS tenor 2 tahun dengan tenor 10 tahun. Ini adalah inversi pertama untuk dua tenor tersebut sejak Juni 2007, atau beberapa bulan sebelum meletusnya krisis keuangan global. Yields pada obligasi AS bertenor 10 tahun berada di 1,623% pada hari Rabu. Sementara yield obligasi tenor 2 tahun sebesar 1,634%.

Inversi menunjukkan bahwa risiko dalam jangka pendek lebih tinggi ketimbang jangka panjang. Oleh karena itu, inversi kerap dikaitkan dengan pertanda resesi. Kurva yang terbalik ini pada akhirnya membuat pasar menjadi kacau.

Selain Yellen, Mantan Gubernur Bank Sentral Alan Greenspan juga tidak terlalu mengkhawatirkan keadaan saat ini. Ia mengatakan tidak ada yang bisa memastikan imbal hasil untuk tidak negatif di AS. Menurutnya saat ini ada lebih dari US$ 15 triliun obligasi pemerintah yang diperdagangkan dengan suku bunga negatif di seluruh dunia.

“Ada arbitrase internasional yang terjadi di pasar obligasi yang membantu mendorong yield obligasi jangka panjang menjadi lebih rendah,” kata Greenspan dalam sebuah wawancara telepon dengan Bloomberg. “Tidak ada penghalang untuk membuat imbal hasil Treasury AS di bawah nol (negatif). Nol tidak ada artinya, selain level tertentu,”.