ESANDAR, Jakarta – Sebagaimana dilaporkan oleh CNBC Indonesia, bahwa bursa saham global diperkirakan akan mencatatkan reli sementara dan obligasi mengalami aksi jual bila gencatan senjata perang dagang diumumkan Amerika Serikat (AS) dan China akhir pekan ini. Namun, pelemahan ekonomi global bisa terus berlanjut hingga kesepakatan yang mengakhiri pengenaan bea impor tercapai.
Para pelaku pasar di Wall Street telah mengambil sikap untuk tidak berharap banyak terhadap pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping yang dinanti-nantikan seluruh dunia.
Banyak investor yakin kedua pemimpin sepertinya akan menahan pengenaan bea impor baru dan memulai lagi perundingan. Namun, bea masuk yang sudah dijatuhkan saat ini diperkirakan tidak akan dicabut, dilansir dari CNBC International, Rabu (26/6/2019).
Trump dan Xi akan bertatap muka di sela-sela pertemuan G20 di Osaka, Jepang. Ketegangan antara kedua negara meningkat bulan lalu setelah AS dan China kembali saling menaikkan bea impor terhadap berbagai produk setelah perundingan mereka menemui jalan buntu.
Pertemuan di G20 itu sangat penting sampai-sampai para pelaku pasar melihatnya sebagai sebuah kejadian yang dapat memengaruhi arah pasar saham sepanjang sisa tahun ini, berdampak pada laju pertumbuhan ekonomi global, dan membantu menentukan kapan dan langkah apa yang akan diambil bank sentral AS Federal Reserve dan bank sentral lainnya di dunia.
“Peluang bahwa kita akan mengalami resesi global akan meningkat bila tidak ada penurunan ketegangan antara AS dan China,” kata Peter Boockvar, chief investment strategist di Bleakly Advisory Group, dilansir dari CNBC International.
“Terkait G20, saya tidak merasa akan ada sesuatu yang negatif, dan ini sepertinya akan menjadi sebuah momen ‘kumbaya’,” lanjutnya. Momen kumbaya adalah sebuah sikap yang menunjukkan persahabatan antara dua pihak yang tengah bermusuhan.
Para pelaku pasar memang memperkirakan tidak akan ada kesepakatan yang ditandatangani akhir pekan ini.
Sebuah survey terhadap investor yang dilakukan Bank of America Merrill Lynch menunjukkan bahwa sekitar dua per tiga responden memperkirakan tidak ada perjanjian yang diteken akhir pekan ini, namun mereka juga memprediksi tidak akan ada bea impor baru yang dijatuhkan kedua negara.
Sejumlah kecil pelaku pasar memperkirakan pertemuan itu akan gagal sepenuhnya. Beberapa ekonom UBS mengatakan bila hal itu yang terjadi dan perang dagang kembali memanas yang ditandai dengan pengenaan bea masuk baru, dunia akan mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi sebagaimana yang terjadi di masa resesi.
“(Jika perang dagang memanas) kami memperkirakan pertumbuhan global akan menjadi 75 basis poin lebih rendah dalam enam kuartal ke depan – seukuran dengan krisis di zona euro, anjloknya harga minyak pada pertengahan 1980an, dan krisis ‘Tequila’ di 1990an,” tulis kepala riset ekonomi global UBS Arend Kapteyn dalam sebuah catatan riset. (CNBC)