ESANDAR, Jakarta – Dolar AS berbalik arah ke wilayah positif pada perdagangan akhir pekan kemarin, Jumat (11/01) terhadap sejumlah pesaing utamanya. Penguatan terjadi meski angka inflasi untuk bulan Desember turun.
Pergerakan sangat lambat dimana kenaikan baru terjadi setelah data inflasi harga konsumen dirilis. Indek CPI turun untuk pertama kalinya dalam sembilan bulan, didukung penurunan harga gas. Namun, demikian, indek Dolar AS mampu naik 0,1% ke 95,624.
Nampaknya pergerakan Dolar AS memang tidak terpengaruh secara dominan oleh data CPI. Akan tetapi secara relative terjadi pelemahan pada sejumlah lawan-lawan Greenbacks. Dalam perdagangan EURUSD misalnya, Euro harus melemah dengan merosot ke $ 1,1471, dibandingkan pada Kamis sebelumnya yang berada di $ 1,1500. Bahkan di awal pekan ini, Euro mampu ke posisi tertinggi dalam catatan tiga bulan ini. Ini terasa bahwa Euro telah mencapai lantai utamanya.
Pendorong yang kuat justru berasal dari Poundsterling. Mata uang Inggris ini harus mengalah dengan Dolar AS terkait isu Brexit yang tak berkesudahan dan data ekonomi Inggris yang mengapung. Meski terdesak, GBPUSD masih menyisakan kekuatan dan berakhir di zona positif.
Poundsterling mempertahankan kekuatannya setelah surat kabar Inggris, The Evening Standard, melaporkan bahwa penundaan Brexit hingga 29 Maret mungkin terjadi. Namun kabar penundaan ini kemudian dibantah oleh pemerintah Perdana Menteri Theresa May.
Poundsterling dalam perdagangan GBPUSD, naik ke posisi tertinggi $ 1,2867 sebagai respons kabar tersebut. Terakhir diperdagangkan di $ 1.2851, dari sebelumnya pada $ 1.2749. Poundsterling juga menguat terhadap Euro dalam perdagangan silang, EURGBP. Satu Euro terakhir dibeli pada £ 0,8926, atau turun 1%.
Pergerakan Poundsterling, sekali lagi membuktikan bahwa saat ini mata uang ini sangat sensitif dan reaktif terhadap isu Brexit.
Besok dijadwalkan Parlemen Inggris akan melakukan pemungutan suara terkait usulan Brexit yang diusung PM. Theresa May. Banyak pihak skeptis akan diloloskannya usulan ini. Jika sampai gagal mendapatkan suara di Parleman, Theresa May akan menghadapi sejumlah masalah termasuk potensi diadakannya pemilihan baru. (Lukman Hqeem)