ESANDAR, Jakarta – Sejauh ini, Lira telah jatuh lebih dari 80%. Aksi jual dramatis membebani pasar global dan telah memancarkan beban beban utang mata uang asing Turki yang memuncak, inflasi tinggi dan kebijakan tidak ortodoks, yang semuanya telah menyeret Lira.
Opsi Turki tampak terbatas dan tindakan mendesak diperlukan. Namun, mengingat reaksi awal dari pejabat pemerintah terhadap krisis ini, investor tidak yakin apakah Turki akan mengambil langkah yang menenangkan pasar.
Pada hari Senin kemarin, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, menuduh AS melakukan rekayasa perang ekonomi di negaranya, dengan mengatakan bahwa “teroris ekonomi di media sosial” menyebarkan dugaan disinformasi tentang keadaan Turki.
Setidaknya, ada empat cara dalam menangani krisis Lira saat ini. Pertama menaikkan suku bunga, memperbaiki kurs mata uang, melakukan pengawasan modal dan berhutang ke Dana Moneter Internasional (IMF).
Menaikkan suku bunga perlu dilakukan setidaknya dalam tingkat kebijakan, dengan menaikkan lebih dari 500 basis poin, pengetatan fiskal sebesar 1% – 2%, dan langkah-langkah untuk mengatasi kekhawatiran atas kredit macet di bank di sektor-sektor seperti energi, real estat dan konstruksi.
Akan tetapi, Erdogan sangat menentang kebijakan suku bunga tinggi. Menurutnya, suku bunga tinggi adalah ibu dari semua kejahatan. Idealnya, Bank Sentral Republik Turki tidak akan dipengaruhi oleh presiden, tetapi kata-katanya telah mengambil alih kekuasaan sejak ia terpilih kembali pada Juni setelah referendum konstitusi tahun lalu.
Presiden Erdogan menegaskan kembali pada hari Sabtu bahwa dia tidak berniat membiarkan suku bunga naik. Dikatakan olehnya bahwa jika kita tidak meminimalkan tingkat bunga ini, maka suku bunga tinggi akan menjadi kendaraan eksploitasi yang akan membuat orang kaya kaya dan miskin semakin miskin. Seperti yang kita lihat, suku bunga Turki tidak dinaikkan.
Investor telah lama berharap untuk pendekatan yang lebih kuat dari CBRT, dimana mereka mengatakan akan mengambil semua langkah yang diperlukan pada Senin kemarin. Namun dengan tidak adanya tindakan bank sentral yang agresif, bagaimanapun juga mata uang Turki akan terus menurun dan arus modal keluar akan terus berlanjut. Tanpa arus masuk modal bersih, cadangan akan jatuh lebih jauh, akhirnya merusak kemampuan Turki untuk membiayai defisit neraca anggaran saat ini.
Alih-alih menaikkan suku, CBRT justru memotong rasio persyaratan cadangan untuk membebaskan likuiditas ke sistem keuangan, sementara pengawas perbankan BDDK mengatakan akan membatasi swap Turki, transaksi spot dan forward dengan investor asing menjadi 50% dari ekuitas bank. Meskipun tindakan ini menawarkan jeda waktu yang sangat singkat, akan sulit untuk melihat ini sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar tindakan menenangkan, daripada solusi untuk masalah yang dihadapi.
Steve Hanke, profesor ekonomi dari Johns Hopkins University, menyarankan agar Turki mematok mata uang mereka dan mengadopsi dewan mata uang, sebuah langkah yang akan memaksa Ankara untuk secara efektif melepaskan kebijakan diskresi moneternya. Langkah ini akan membantu menstabilkan mata uang dan membiarkan Turki membangun kembali kredibilitasnya di pasar keuangan. Meski demikian, hal ini dianggap Win Thin, kepala global strategi mata uang EM di Brown Brothers Harriman bukan solusi karena masalah Turki terlalu kompleks dan luas, katanya.
Pasar mengharapkan Erdogan bisa melakukan pengawasan atas modal. Mengingat setiap tenggat waktu akan menjadi sentiment negatif baru dan dapat memicu pengeluaran besar dana sebelum kontrol mulai berlaku. Erdogan sendiri telah menghimbau orang-orang untuk tidak melarikan modal dari Turki. Sayangnya, Defisit neraca anggaran dalam mata uang negara tersebut sangat besar, lebih dari 5% terhadap PDB, dan ketidakmampuan bank sentral untuk mengendalikan 16% inflasi telah memperburuk pelarian modal.
Langkah keempat yang bisa dilakukan adalah meminjam dana ke Dana Moneter Internasional. Pada tahap ini, Turki bisa belajar dari Argentina, yang kini juga berjuang dengan utang luar negeri tingkat tinggi dan mata uang yang sakit hingga beralih ke IMF pada bulan Juni lalu. Lari ke IMF merupakan salah satu pilihan yang solusinya masih ditangan Turki sendiri.
Sayangnya, kecil sekali kemungkinan Erdogan mengambil solusi ini. Menurutnya meminta bantuan ke IMF hanya ingin Turki melepaskan kemerdekaannya. Terlepas daripada itu, memilih IMF juga akan memiliki produk sampingan yang tidak populer seperti pajak tinggi dan pengeluaran rendah, yang mana Erdogan pasti akan menolaknya.
Secara keseluruhan, Turki memang memiliki beberapa pilihan di ujung jarinya, tetapi politik dan kebanggaan membuat banyak langkah-langkah ini tidak menyenangkan, mempersulit pemulihan cepat. Para pelaku pasar setuju bahwa Turki perlu memperbaiki hubungannya dengan AS meskipun saat ini sedang menghangat hubungan diplomatiknya, setelah penahanan Pastor Andrew Brunson. (Lukman Hqeem)