ESANDAR, Jakarta – Langkah yang diambil oleh Bank Sentral AS, The Federal Reserve untuk menaikkan suku bunga utama diikuti oleh People’s Bank of China (PBOC), Bank Sentral Cina. Sebaliknya, Reserve Bank of New Zealand, memilih untuk mempertahankan suku bunganya.
PBOC mengumumkan telah menaikkan suku bunga pinjaman jangka pendek kepada pemberi pinjaman komersil. Langkah ini sejalan dengan kebijakan The Federal Reserve yang pada Rabu waktu setempat telah mengumumkan kenaikan suku bunganya. PBOC menaikkan suku bunga yang dikenakan pada perjanjian reverse-repurchase 7 hari sebesar 5 basis poin (bps). Langkah ini sejalan dengan ekspektasi pasar dan dianggap sebagai reaksi normal terhadap kenaikan suku bunga the Fed.
Sejumlah bank sentra diyakini akan menaikkan suku bunganya ditahun ini. Selain untuk mencegah tekanan deleveraging, juga untuk mengurangi disparitas kebijakan moneter mereka dengan AS. PBOC sendiri tercatat belum pernah mengubah suku bunga pinjaman satu tahun sejak Oktober 2015. Langkah PBOC hanya akan berdampak terbatas dan tidak merubah sikap kebijakan moneter bank sentral Cina. Mereka ingin menjaga yuan tetap stabil dan lebih memperhatikan kondisi ekonomi domestik.
Disisi lain, kenaikan suku bunga pinjaman Cina ini akan mempersempit kesenjangan harga pasar walau masih ada ruang untuk semakin mengecilkan kesenjangan dalam membantu memperkuat transmisi kebijakan suku bunga. Yi Gang, Gubernur Bank Sentral Cina berjanji akan mempertahankan sikap kebijakan bank sentral yang netral.
PBOC menghindari penggunaan suku bunga acuan agar tidak terlalu membebani ekonomi yang lebih luas. Bank sentral juga berusaha untuk mengikis leverage di sektor keuangan, daripada mendorong kenaikan suku bunga pinjaman jangka pendek dan menengah. Sementara itu, Otoritas moneter Hong Kong juga telah menaikkan suku bunga acuannya 25 basis poin (0,25 poin) menjadi 2 persen.
Kebijakan yang diambil baik oleh The Federal Reserve dan PBOC ternyata tidak diamini oleh Bank Sentral Selandia Baru, Reserve Bank of New Zealand (RBNZ). Mereka memilih untuk mempertahankan kebijakan suku bunga saat ini.
Besarnya suku bunga saat ini berada pada rekor terendah. RBNZ bahkan mengindikasikan tidak akan menaikkannya suku bunga mereka hingga waktu dekat ini. Pertimbangannya karena pertumbuhan ekonomi Selandia Baru mulai kehilangan momentum walaupun inflasi tetap stabil.
Menurut Grant Spencer, Penjabat Gubernur Bank Sentral Selandia Baru, mereka setelah mempertahankan suku bunga sebesar 1,75 %. Selain itu juga diputuskan akan tetap mempertahankan , kebijakan moneter yang akomodatif untuk jangka waktu yang cukup lama. Inflasi diperkirakan lanjut melemah dalam jangka waktu dekat ini sebelum tren naik. Hal ini masih sesuai target RBNZ sebesar 2 % dalam jangka menengah.
Suku bunga Selandia Baru di level terendah sejak November 2016 karena kekuatan nilai tukar dan inflasi global yang lemah memberikan tekanan ke bawah pada harga. Bahkan ketika Federal Reserve menaikkan suku bunga dan mengatakan waspada terhadap tekanan harga yang muncul di AS, beberapa ekonom memperkirakan kenaikan suku bunga RBNZ dilakukan sebelum 2019. Tidak seperti biasanya, Spencer tidak memberikan komentar apa pun tentang nilai tukar dalam pernyataannya hari ini.
Para pelaku pasar memang mengharapkan suku bunga tidak berubah. Suku bunga resmi (OCR) tetap pada 1,75 persen hingga tahun depan. Pedagang tidak terlalu berharap pada kenaikan suku bunga tahun ini. Hanya sekitar 31 % pelaku pasar yang teridentifikasi berharap ada kenaikan.
Spencer, yang telah berperan sebagai caretaker akan mundur minggu depan. Gubernur baru Adrian Orr akan memimpin. Ia merupakan sosok yang digadang-gadang akan menerapkan sejumlah reformasi terbesar di bank sentral tersebut. Perubahan yang akan terjadi dalam hampir tiga dekade karena pemerintah memperkenalkan mandat ganda bagi Bank Sentral. Berupa kewenangan penuh mengenai moneter dan stabilitas harga. Pemerintah Juga akan menambah anggota eksternal ke dalam komite kebijakan RBNZ.
Sebelumnya, pada Februari lalu, RBNZ memang telah mengisyaratkan tidak akan mengubah suku bunganya hingga pertengahan 2019. Mengingat pertumbuhan ekonomi yang dianggap belum pulih sebanyak yang diharapkan. (Lukman Hqeem)