ESANDAR, Jakarta – Harga minyak mentah melemah, meskipun Dolar AS hanya menguat tipis. Jatuhnya harga minyak lebih banyak didorong kekhawatiran pasar akan kelebihan suplai dari peningkatan produksi minyak mentah.
Upaya pembatasan produksi minyak mentah OPEC, yang diamini oleh Rusia, digerogoti dengan kenaikan produksi AS. Dalam laporannya, Lembaga Informasi Energi AS, EIA menyatakan bahwa produksi minyak mentah AS mengalami kenaikan sebesar 332 ribu bph menjadi 10,251 juta bph, melewati rekor tertinggi produksi minyak serpih dalam sejarah AS pada tahun 1970 sebesar 10,04 juta bph.
Sebelumnya Asosiasi Pengusaha Minyak AS, API melaporkan bahwa persediaan minyak mentah AS di pekan lalu mengalami penurunan sebesar 1,050 juta barel. Persediaan bensin turun 227 ribu barel dan persediaan minyak pemanas serta solar naik 4,552 juta barel. EIA menyanggah bahwa persediaan minyak mentah AS mengalami kenaikan sebesar 1,895 juta barel, sedangkan persediaan minyak bensin juga naik sebesar 3,414 juta barel. Untuk persediaan minyak pemanas dan minyak solar juga naik sebesar 3,926 juta barel.
EIA juga membuat proyeksi pertumbuhan produksi minyak AS di tahun 2018 akan menjadi 10,6 juta bph dan 2019 akan menjadi 11,2 juta bph, naik dari rata-rata produksi 2017 yang mencapai 9,3 juta bph. Produksi minyak AS akan melewati dominasi Arab Saudi dan Rusia.
Hal ini membuat harga minyak West Texas Intermediate (WTI) di bursa NYMEX – Comex ditutup melemah $1,33 atau 2,15% di level $60,46 per barel. Sedangkan minyak Brent ditutup melemah $1,20 atau 1,83% di harga $64,31 per barel.
Naiknya produksi minyak AS tersebut terjadi setelah disparitas harga antara minyak Brent dan minyak WTI di bulan lalu sempat melebar di atas $6 per barel disertai pula oleh kenaikan harga minyak itu sendiri.
Disisi lain, penurunan harga minyak ini juga disebabkan akan mulainya rendahnya permintaan minyak pemanas di kala belahan bumi Utara sudah memasuki musim panasnya.
Tekanan harga minyak juga datang dari Iran setelah semalam menyatakan bahwa produksi minyak Iran akan meningkat dalam 4 tahun ke depan. Iran sebagai negara produsen minyak anggota OPEC memang sedikit diberi kelonggaran untuk tidak ikut dalam komitmen pembatasan pasokan minyak 1,8 juta bph karena negara tersebut baru lepas dari embargo AS.
Pelemahan juga berlanjut karena dolar AS atau greenback sedikit muncul sebagai safe haven sehingga ada sisi penguatannya kembali. Kondisi ini tentu membuat harga minyak mengalami tekanan kembali mengingat sebagian besar perdagangan minyak menggunakan mata uang AS ini sebagai alat tukar sehingga ada kesan bahwa harga minyak sedang lebih mahal upaya belinya. (Lukman Hqeem)