ESANDAR, Jakarta – Harga minyak naik seiring melemahnya Dolar AS serta kondisi yang mengejutkan, persediaan minyak AS menurun.
Pelemahan dolar AS terjadi setelah risalah Komisi Pasar Bebas Federal, FOMC menyatakan bahwa kondisi ekonomi AS akan memanas dan suku bunga bisa naik secara bertahap. Namun demikian, investor khawatir terhadap naiknya imbal obligasi AS. Imbal hasil AS mendekati level tertingginya. kekhawatiran ini membuat investor melepas Dolar mereka. Alhasil Dolar AS tertekan.
Melemahnya Dolar AS berarti impor minyak dunia akan terlihat lebih murah sisi belinya sebagai konsekuensi bersamaan dengan turunnya nilai dolar AS, sehingga investor minyak langsung memborong minyak kembali.
Bentang jarak atau disparitas antara harga minyak jenis WTI dan Brent makin tipis, sekitar $4 per barel, turun dari $7 per barel ke atas pada akhir tahun 2017 lalu. Seperti kita ketahui bahwa kondisi disparitas harga yang melebar biasanya akan membawa dampak produksi minyak serpih AS akan meningkat tajam. Biasanya disparitas di atas angka $5 per barel membuat produksi minyak AS akan meningkat tajam.
Dengan kondisi pasokan minyak AS akan berkurang karena jaringan pipa Keystone Kanada yang sejak berlangsung sejak akhir tahun lalu menyusut sejak terjadi kebocoran dan masuknya waktu pemeliharaan kilang-kilang minyak di Eropa, akhirnya membuat investor sadar bahwa harga minyak bisa membaik. Dari data intelijen Genscape dinyatakan bahwa persediaan minyak AS di Oklahoma mengalami penurunan sebesar 2,1 juta barel di pekan lalu, dan data di gudang Cushing Oklahoma memang turun 2,7 juta barel.
Hal ini membuat harga minyak West Texas Intermediate (WTI) ditutup menguat $0,97 atau 1,57% di level $62,65 per barel. Minyak Brent ditutup menguat $0,81 atau 1,24% di harga $66,23 per barel.
Persediaan minyak mentah pemerintah AS di pekan lalu mengalami penurunan sebesar 1,616 juta barel, jauh di bawah ekspektasi pasar yang naik 2,355 juta barel. Persediaan bensin naik hanya 261 ribu barel. Sedangkan persediaan minyak pemanas dan solar turun tajam sebesar 2,422 juta barel. EIA juga menyatakan bahwa produksi minyak AS masih di sekitar 10,27 juta bph dan diperkirakan hingga akhir tahun ini produksi minyak AS akan di atas 11 juta bph.
Impor minyak AS juga turun dari 5 juta bph menjadi 1,6 juta bph, level terendah sejak EIA mencatat di 2001. Sedangkan ekspor minyak AS melonjak tajam lebih dari 2 juta bph, atau sedikit di bawah rekor tertinggi ekspor minyak AS pada Oktober tahun lalu yang mencapai 2,1 juta bph.
Secara umum, pasar minyak tetap di dukung dengan baik karena adanya pembatasan pasokan minyak OPEC. Sekjen OPEC Mohammed Barkindo menyatakan bahwa rata-rata tingkat kepatuhan terhadap komitmen pembatasan pasokan minyak tahun lalu mencapai 107%. Sedangkan awal tahun ini, tingkat kepatuhan sudah naik menjadi 133%. Barkindo menyatakan bahwa permintaan minyak global di 2018 bisa tumbuh 1,6 juta bph. (Lukman Hqeem)