ESANDAR, Jakarta – Pada hari Jumat (13/07), indek S&P 500 berakhir di atas 2.800 untuk pertama kalinya sejak 1 Februari. Ini merupakan level psikologis, sebuah angka bulat yang telah terbukti menjadi sumber resistensi kunci bagi pasar. Tersandung pada level ini kemudian terkoreksi sejak 8 Februari.
Para investor di Wall Street menemukan diri mereka berhadapan dengan sang banteng sendiri, dibawah bayang-bayang perang dagang, muncul optimisme baru untuk melanjutkan putaran kedua terpanjang sejak Perang Dunia II.
Memang, Indek S&P 500 menutup sesi Jumat dengan naik lebih tinggi pada 2.801,31, Indek Dow Jones ditutup naik 0,4% pada 25.019,41, sedangkan Indek NASDAQ mengerahkan momentum yang cukup untuk menambah kembali ke pada penutupan tertinggi sepanjang waktu di 7,825.98, naik kurang dari 0,1%. Saat ini, indek S & P 500 hanya terpaut 2,5% dari catatan tertinggi 26 Januari, sementara Dow Jones berdiri 6% dari puncak penutupan dari awal tahun.
Tren naik ini datang di tengah-tengah angin sakal yang disebabkan oleh sejumlah faktor-faktor seperti Perang Dagang AS dan sejumlah mitranya. Kekhawatiran sempat melunak saat ini, dimana Cina dan AS perang tarif 25% pada beberapa produk senilai $ 34 miliar produk minggu lalu, tetapi sebagian khawatir ini bisa berlangsung terus dan menjadi sesuatu yang lebih mengganggu pasar global.
Pengetatan bentang jarak antara suku bunga jangka pendek dan jangka panjangnya. Alasanyya, pemberi pinjaman cenderung menuntut pengembalian yang lebih kaya untuk pinjaman untuk jangka waktu yang lebih lama, penyusutan kurva imbal hasil, karena investor obligasi mengacu pada perbedaan hasil antara obligasi jatuh tempo yang berbeda, telah menimbulkan pertanyaan tentang prospek ekonomi.
Kesenjangan antara imbal hasil Obligasi 2 tahun dan 10 tahun paling banyak diperhatikan pasar, dimana saat ini adalah pada 24,9 basis poin, atau 0,249 poin persentase, pada akhir Juma. Ini menandai kondisi yang paling ketat sejak 2007. Selain itu, kurva imbal balik terbalik, di mana tingkat yang lebih pendek melebihi yang lebih lama telah menjadi prediktor akurat dari resesi.
Meningkatnya imbal hasil obligasi yang, jika terjadi terlalu cepat, dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi dan perusahaan serta membuat pasar saham menjadi tidak stabil
The Federal Reserve sedang dalam usaha menormalkan kebijakan suku bunga tanpa mencekik pertumbuhan ekonomi atau mendorong gelembung, atau resesi.
Ekspansi ekonomi dalam siklus akhir yang harus ditanggung oleh beberapa beruang, harus berakhir dan akhirnya segera, bahkan jika kenaikan baru-baru ini telah ditopang oleh pemotongan pajak perusahaan pada akhir tahun 2017 oleh Donald Trump
Dilakukannya pemilihan paruh waktu yang dapat mempengaruhi keseimbangan kekuasaan di Capitol Hill, AS. Terakhir adalah Dolar AS yang terus menguat. Indek dolar AS yang telah mendatangkan malapetaka baru-baru ini pada ekonomi pasar berkembang yang memiliki utang yang dipatok dolar, yang dilayani dalam mata uang lokal. (Lukman Hqeem)