ESANDAR, Jakarta – Harga minyak dalam perdagangan berjangka di hari Jumt (01/02) naik memberikan keuntungan untuk kinerja mingguan ini karena sanksi AS terhadap perusahaan minyak milik negara Venezuela. Sanksi ini meningkatkan risiko menurunnya pasokan minyak mentah. Sementara jajak terkini menunjukkan adanya potensi penurunan cukup besar dalam produksi OPEC.
Kenaikan harga berkelanjutan setelah data yang dirilis menunjukkan adanya penurunan dalam jumlah rig minyak AS yang aktif secara mingguan. Ini menyiratkan potensi pelambatan dalam aktivitas produksi domestik. Pada perdagangan sebelumnya, harga mengalami koreksi meski minyak mentah AS berhasil mencatatkan kinerja perdagangan dibulan Januari dengan kenaikan harga secara persentase sebagai yang terkuat sejak April 2016.
Harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman bulan Maret naik $ 1,47, atau 2,7%, menjadi $ 55,26 per barel di New York Mercantile Exchange (NYMEX). Harga kontrak bulan depan mencatatkan penutupan tertinggi sejak 19 November, setelah menyelesaikan Januari dengan kenaikan bulanan 18,5%. Secara mingguan, harga minyak naik 2,9%.
Sementara harga minyak mentah Brent, sebagai patokan harga minuak global untuk kontrak bulan April, naik $ 1,91, atau 3,1%, menjadi $ 62,75 per barel di ICE Futures Europe. Harga berdasarkan kontrak bulan depan naik 15% untuk bulan lalu dan 1,8% lebih tinggi untuk minggu ini.
Kenaikan harga mendapatkan pijakan tambahan setelah Baker Hughes pada hari Jumat melaporkan bahwa jumlah pengeboran rig AS untuk minyak turun 15 hingga 847 minggu ini. Itu lebih dari mengimbangi kenaikan 10 dalam jumlah rig minyak dari minggu sebelumnya.
Venezuela, bagaimanapun, tetap sebagai faktor kunci bagi pedagang minyak. Pemerintahan Trump meluncurkan sanksi terhadap perusahaan minyak milik negara Venezuela, Petróleos de Venezuela SA sebagai upaya untuk menolak aliran uang kepada Presiden Nicolás Maduro. Gejolak politik Venezuela telah meningkatkan risiko terganggunya produksi minyak.
Para pedagang percaya bahwa sanksi itu menjadi faktor utama pendukung kenaikan harga minyak. Meskipun muncul wacana bahwa situasinya bisa lekas selesai dalam waktu dekat karena Venezuela ingin menjual sebagian cadangan emasnya untuk membeli ruang bernapas.
Dengan latar belakang tersebut, setidaknya harga minyak akan terus berpotensi naik tetapi jangan mengharapkan reli besar-besaran dalam waktu dekat. Kemungkinan akan mencapai batas tertinggi di $ 56 untuk minyak WTI.
Jajak terbaru dari Reuters menunjukkan produksi Organisasi Negara Pengekspor Minyak telah menurun 890.000 barel per hari pada Januari, menjadi 30,98 juta barel per hari, dalam penurunan bulanan terbesar dalam dua tahun. OPEC dan 10 produsen di luar kartel, yang dipimpin oleh Rusia, pada akhir Desember sepakat untuk membatasi produksi minyak mentah sebesar 1,2 juta barel per hari untuk paruh pertama 2019, bagian dari upaya untuk menyeimbangkan kembali pasar yang kelebihan pasokan.
Harga telah naik sekitar 27% dari posisi terendah 2018 yang dicapai pada minggu terakhir bulan Desember. Kekhawatiran akan permintaan, bagaimanapun, sebagian besar terkait dengan penurunan peringkat untuk pertumbuhan global dari Dana Moneter Internasional, juga menjadi faktor sentimen.
Kenaikan harga minyak pada awal pekan ini berlangsung setelah pasokan minyak mentah AS dilaporkan kurang dari yang diharapkan dan di tengah reaksi lanjutan terhadap sanksi AS terhadap PdVSA Venezuela. Minyak juga diuntungkan dari nada optimis untuk aset berisiko secara keseluruhan setelah reposisi suku bunga dovish di Federal Reserve mengirim ketiga patokan saham A.S. ke tertinggi multi-minggu dan mengirim indek dolar AS lebih rendah.
Harga minyak mungkin memiliki awal yang cukup sehat untuk tahun ini di Januari, terutama dengan pemotongan OPEC menjadi lebih terlihat dalam data yang masuk dan dengan geopolitik membuat perdagangan bergelombang lagi. Namun jeda kenaikan suku bunga Fed yang diumumkan awal pekan ini telah menambah persepsi tentang pertumbuhan ekonomi AS yang goyah di bulan-bulan mendatang. (Lukman Hqeem)