Bursa saham berbalik menguat kembali setelah kekhawatiran akan menyebarnya krisis lira Turki bisa mereda.

Esandar Arthamas Berjangka merupakan pialang resmi yang terdaftar di BAPPEBTI. Anggota dari Bursa Berjangka Jakarta dan Kliring Berjangka Indonesia.

ESANDAR, Jakarta – Bursa Saham AS bangkit kembali dengan ditutup lebih tinggi pada perdagangan hari Selasa (14/08). Indek S&P 500 menghentikan penurunan beruntun terpanjang sejak Maret.

Aksi jual sebelumnya terjadi karena kepanikan pasar menyusul krisis mata uang Turki. Namun kekhawatiran ini mereda, sehingga investor kembali fokus pada kondisi ekonomi domestik Amerika Serikat yang sehat dan laporan keuangan perusahaan yang kuat.

Indek Dow Jones naik 112,22 poin, atau 0,5%, menjadi 25.299,92, didukung oleh penguatan saham Walgreens Boots Alliance Inc. dan McDonald’s Corp. Indek S&P 500 naik 18,03 poin, atau 0,6%, menjadi 2,839.96, menghentikan penurunan dalam empat hari, dan Indek Nasdaq naik 51,19 poin, atau 0,7%, menjadi 7.870,89, meski sempat tergelincir sebentar ke wilayah negatif di awal sesi perdagangan.

Pada perdagangan sebelumnya, Indek Dow Jones telah merosot 0,5% menjadi 25.187,70, Indek S&P 500 turun 0,4% menjadi 2,821.93 dan Indek Nasdaq berakhir turun 0,3% menjadi 7,819.71, terhambat oleh kekhawatiran ketakutan merambatnya krisis Lira Turki.

Sementara pada perdagangan lainnya, bursa saham Eropa dan Asia naik, pulih dari penurunan sebelumnya oleh meredanya kekhawatiran akan krisis Lira. Pada perdagangan di bursa komoditi, harga Emas menetap cukup tinggi, sementara harga minyak mentah datar setelah reli sebelumnya dan indeks dolar AS DXY, naik 0,3%.

Pelaku pasar berfokus pada tanda-tanda bahwa Turki sedang coba membendung kejatuhan Lira lebih dalam. Lira diketahui telah terpangkas lebih dari sepertiga nilainya selama dua minggu terakhir. Pada hari Senin, bank sentral Turki berjanji untuk menyediakan “semua likuiditas” yang dibutuhkan lembaga keuangan negara.

Tidak jelas apakah itu akan cukup untuk mengatasi banyak tantangan ekonomi yang dihadapi Ankara di bawah Presiden Recep Tayyip Erdogan, yang telah merambah independensi bank sentral dan “menantang” Presiden Donald Trump atas penahanan pendeta Amerika Serikat Andrew Brunson . Bank sentral, hingga kini menolak untuk menaikkan suku bunga selama krisis ini. Melawan saran dari para ahli, namun sesuai dengan harapan Erdogan yang memang anti suku bunga tinggi.

Kekhawatiran akan krisis ini mereda setelah Lira berhasil menguat kembali. Dalam perdagangan terkini, Lira mampu naik 5% terhadap Dolar AS, dimana satu dolar AS membeli 6,356 Lira dari sebelumnya di 6,884.

Sementara itu, indikator ekonomi menunjukkan adanya peningkatan keyakinan usaha skala kecil di AS. Indeks optimisme usaha kecil oleh Federasi Bisnis Mandiri Nasional naik 0,7 poin pada Juli menjadi 107,9. NFIB mengatakan itu adalah tingkat tertinggi kedua dalam sejarah, tepat di bawah puncak 1983.

Biaya impor barang sepanjang bulan Juli datar-datar saja, namun naik secara tahunan dengan melonjak ke posisi tertinggi sejak Februari 2012, naik 4,8% tahunan, demikian data dari pemerintah AS. Kenaikan biaya ini tidak termasuk impor bahan bakar, dimana biaya impor justru turun 0,3% bulan lalu dan naik secara tahunan sebesar 1,3%.

Kredit rumah tangga AS, termasuk hipotek, kartu kredit, pinjaman mobil, pinjaman mahasiswa dan kredit lainnya mengalami pertumbuhan kuartal April-Juni, naik sebesar 0,6%, atau $ 82 miliar, menjadi $ 13,29 triliun, demikian dilaporkan oleh Bank Sentral AS wilayah New York.

Diyakini bahwa krisis Turki tidak akan merembet lebih jauh keluar. Sebagaimana dikatakan oleh Brad McMillan, kepala investasi di Commonwealth Financial Network, mengatakan alasan utama krisis Turki kemungkinan tidak akan menyebar adalah karena Turki adalah pelarian.

“Ini meminjam lebih banyak, sebagai persentase ekonomi, dalam mata uang asing daripada negara lain. Hanya ada segelintir negara yang bahkan dekat, termasuk Hungaria, Argentina, Polandia, dan Chili. Baru-baru ini, bank sentralnya secara efektif kehilangan kemerdekaannya dan sekarang secara politis tidak dapat mengambil langkah-langkah yang dapat mengurangi krisis.

Dengan kata lain, Turki lebih terbuka dan kurang mampu melakukan sesuatu daripada negara lain. Khususnya, sementara negara-negara lain yang terpapar juga menerima pukulan, tidak ada negara yang sama buruknya dengan Turki, ”katanya dalam sebuah catatan. (Lukman Hqeem)