Inflasi Korea Selatan Terganggu oleh penurunan daya konsumsi

Esandar Arthamas Berjangka merupakan pialang resmi yang terdaftar di BAPPEBTI. Anggota dari Bursa Berjangka Jakarta dan Kliring Berjangka Indonesia.

ESANDAR, Jakarta – Bursa Saham Korea Selatan dibuka hampir datar pada hari Kamis (19/04) karena investor mengambil nafas dari reli di sesi sebelumnya setelah perdagangan menghangat di Wall Street.

Indeks Harga Saham Gabungan Korea Selatan, KOSPI naik 1,32 poin atau 0,05 persen menjadi 2.481,3 dalam 15 menit pertama perdagangan.

Semalam, bursa saham di Amerika Serikat ditutup beragam mengikuti reli di sesi sebelumnya. Rata-rata industri Dow Jones turun tipis 0,16 %, dan indeks NASDAQ naik 0,19 %. Saham-saham berkapitalisasi besar diperdagangkan beragam, dengan teknologi kelas berat menopang indek.

Saham pemimpin pasar Samsung Electronics naik 0,82 %, dan SK hynix, pembuat chip besar, naik 1,42 %. Tetapi kerugian dalam saham bio membatasi kenaikan. Samsung Biologics, unit perawatan kesehatan Samsung, merosot 1,48 %, dan Celltrion, perusahaan farmasi besar, jatuh 1,93 %.

Mata uang lokal diperdagangkan pada 1.066,10 won terhadap dolar AS, naik 2,6 won dari penutupan sesi sebelumnya.

Sementara itu, Dana Moneter Internasional (IMF) mengatakan hari Selasa sebelumnya bahwa pihaknya akan mempertahankan perkiraan pertumbuhan Korea Selatan sebesar 3 % tahun ini.  IMF menyesuaikan peningkatan produk domestik bruto pada Januari, dengan revisi sejalan dengan prospek pertumbuhan Seoul untuk 2018. Pemerintah Korea Selatan sendiri mengharapkan ekonomi mereka bisa naik 3 % pada 2018.

IMF juga mengatakan ekonomi negara itu bisa tumbuh 2,9 % pada 2019, ekspansi yang sama seperti perkiraan sebelumnya.  Ekonomi Korea Selatan tumbuh 3,1 % tahun lalu, meningkat dari pertumbuhan 2,8 % tahun sebelumnya, di belakang ekspor yang kuat dan pemulihan pengeluaran swasta.

Sementara itu, ekonomi global secara keseluruhan diperkirakan akan naik 3,9 % pada 2018, tidak berubah dari perkiraan sebelumnya, demikian paparan dari badan yang berbasis di Washington DC dan mereka memprediksi tingkat pertumbuhan yang sama untuk tahun berikutnya.

IMF mengatakan bahwa, meskipun ekspansi ekonomi ke depan, ada risiko penurunan seperti meningkatnya proteksionisme dan ketegangan geopolitik di Asia Timur dan Timur Tengah.

Selain itu, normalisasi kebijakan moneter yang dramatis di negara-negara besar akan meningkatkan volatilitas di pasar keuangan global dan dapat mempengaruhi pertumbuhan. (Lukman Hqeem)