ESANDAR, Jakarta – Anggota parlemen Inggris kembali menghancurkan usulan kesepakatan perpisahan Uni Eropa dengan Inggris, pada hari Selasa (13/03). Dalam pungutan yang dilakukan, usulan kesepakatan yang diajukan oleh Perdana Menteri Theresa May hanya mendapatkan 242 suara. Sementara kubu yang menolak mencapai 391 suara.
Penolakan ini mendorong Inggris ke dalam krisis politik dimana parlemen juga harus untuk memutuskan dalam hari Rabu ini apakah akan tetap mendukung Brexit dengan tanpa kesepakatan atau mencari jalan penundaan dilakukannya Brexit. Hard Brexit, demikian dikenal bila Inggris keluar dengan tanpa kesepakatan.
Bagi pelaku pasar, hard brexit bisa menjadi sumber kekacauan dan menjadi sentiment negatif bagi dunia bisnis. Ada kekhawatiran akan munculknya gangguan dalam rantai pasokan ke Inggris serta berpotensi menyebabkan kekurangan makanan dan obat-obatan pula.
May mengatakan pemerintah tidak akan menginstruksikan anggota parlemen partainya sendiri bagaimana memilih, seperti biasanya. Seorang juru bicara Partai Buruh oposisi mengatakan ini berarti dia “menyerah dengan alasan memimpin negara”. Juru bicara politik May mengatakan dia belum membicarakan pengunduran diri.
Perdana menteri May mengatakan kepada anggota parlemen: “Izinkan saya menjelaskan. Memilih menentang pergi tanpa kesepakatan dan perpanjangan tidak menyelesaikan masalah yang kita hadapi.”
Dia mengatakan parlemen sekarang menemui jalan buntu: “Apakah ia ingin mencabut Pasal 50 (mengumumkan niat untuk meninggalkan Uni Eropa)? Apakah ia ingin mengadakan referendum kedua? Atau apakah ia ingin pergi dengan kesepakatan, tetapi tidak dengan kesepakatan ini? “
Graham Brady, seorang anggota parlemen Konservatif yang berpengaruh, mengatakan dua skenario yang paling mungkin meninggalkan Uni Eropa tanpa kesepakatan “atau semacam penundaan tanpa akhir”.
Pendukung Brexit berpendapat bahwa, perpisahan “tanpa kesepakatan” mungkin membawa ketidakstabilan jangka pendek, dalam jangka waktu yang lebih panjang itu akan memungkinkan Inggris untuk berkembang dan menjalin kesepakatan perdagangan yang menguntungkan di seluruh dunia.
Namun, parlemen juga diharapkan untuk menolak Brexit “tidak ada kesepakatan”, sehingga anggota parlemen kemudian akan memberikan suara lagi pada hari Kamis – apakah pemerintah harus meminta penundaan tanggal cuti untuk memungkinkan pembicaraan lebih lanjut.
Baik May dan Uni Eropa telah mengesampingkan perubahan lain pada kesepakatan, setelah dua setengah tahun bernegosiasi yang berbelit-belit.
Sementara itu dari pihak Uni Eropa mengatakan “Tidak akan ada kesempatan ketiga,” kata Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker, Senin kemarin. “Tidak akan ada interpretasi lebih lanjut dari interpretasi, tidak ada jaminan lebih lanjut dari jaminan jika ‘pemungutan suara yang berarti’ besok gagal.”
Sebelum dilakukannya pemungutan ini, Jaksa Agung Inggris, Geoffrey Cox memberikan pandangannya mengenai usulan amandemen Brexit yang diusung Theresa May. Menurut Cox, resiko hukum dari peristiwa Brexit tetap ada, meskipun ada konsesi dari pihak Uni Eropa. Cox menambahkan bahwa dokumen yang direvisi tidak memberikan dasar hukum bagi Inggris untuk keluar dari pengaturan “Irish Backstop” secara sepihak.
Pandangan Cox bagi sejumlah kalangan merupakan hal yang penting untuk mengetahui apakah jaminan yang diterima oleh May sudah cukup untuk memberikan kepercayaan kepada para anggota parlemen Inggris yang nampaknya masih ragu untuk memberikan lampu hijau bagi kesepakatan tersebut.
Beberapa politisi Inggris tidak menyukai fakta timbulnya jalan buntu, meskipun dimaksudkan sebagai upaya terakhir, yang berarti bahwa Inggris tetap berada dalam serikat pabean Uni Eropa untuk waktu yang tidak terbatas dan tidak dapat meninggalkannya secara sepihak. Sebelumnya kesepakatan yang diraih oleh May telah ditolak mentah-mentah oleh parlemen Inggris pada Januari lalu, dan saat ini tengah menghadapi ujian baru dari parlemen Inggris.
Menjelang pemungutan suara di parlemen, Poundsterling mengalami tekanan jual dan jatuh cukup tajam. Aksi jual tertahan dengan perkembangan bahwa Parlemen Inggris juga akan dituntut untuk menentukan sikapnya, apakah akan tetap memilih keluar dengan tanpa kesepakatan atau menunda keluarnya Inggris dari Uni Eropa.
Sementara itu, indikator ekonomi Inggris yang diluncurkan juga memberikan pijakan bagi Poundsterling untuk bertahan ditengah tekanan jual ini. Tingkat pertumbuhan ekonomi Inggris meningkat dalam tiga bulan terakhir, karena aktivitas bisnis menguat kembali pada bulan Januari setelah pada akhir tahun melemah.
Produk domestik bruto (PDB) Inggris tumbuh 0,5% dalam tiga bulan hingga Januari, demikian paparan Kantor Statistik Nasional. Terjadi sedikit kenaikan dengan ekspansi 0,4% dalam tiga bulan hingga Desember, dan di atas perkiraan analis yang memperkirakan peningkatan hanya akan sebesar 0,2%. Secara terpisah, produksi manufaktur naik 0,8% pada Januari, sementara produksi industri naik 0,6%.
Tidak disebutkan pula dalam rilisan ONS tentang fenomena penimbunan oleh produsen menjelang Brexit, sesuatu yang menonjol dalam survei bisnis IHS Markit yang diawasi ketat dalam beberapa bulan ini. (Lukman Hqeem)